Senin, 24 Oktober 2011

Cerpen-Cerita


Cerita

Jika kau jadi aku, apa yang akan kau lakukan?. Menangis?, atau memotong urat nadi?, ya!, bunuh diri!. Atau jika terlalu mudah bunuh diri dengan memotong urat nadi, kau bisa berbaring di atas rel kereta api, kau juga bisa melakukannya dengan cara melompat dari atap gedung berlantai 30, atau jika ada, dari gedung yang berlantai seratus. Huft! Sepertinya kau hanya akan tertawa. Tetap saja itu kau, bukan aku. Kau tak tahu ketika mimpi panjang yang telah ku susun sedemikian rupa untuk melanjutkan jenjang pendidikan sarjanaku ke University of Tokyo hangus sesaat setelah semua biaya yang ku persiapkan bertahun-tahun habis untuk mengobati biaya operasi adikku yang mengidap penyakit komplikasi. Aku tak tahu komplikasi apa saja yang diderita adikku. Yang aku tahu, dokter hanya menyampaikan itu. Selebihnya, aku tak mau tahu. Kau juga tak tahu ketika harapan kedua-ku untuk melanjutkan kuliah di Ilmu Komunikasi Unisba, hanyut terbawa tangisan saat kedua orang tuaku meninggal dalam kecelakan. Dan aku tentunya harus menjaga adikku yang sedang terbaring di rumah sakit. Kau juga pasti tak akan mau tahu kenapa aku tak melanjutkan pendidikan setelah aku lulus dari sekolah menengah atas. Untuk apa kau tahu?, tak ada gunanya, bukan?. Memangnya aku ini siapa, bagimu?. Bukan siapa-siapa. Aku hanya seorang lelaki. Dengan adik perempuan yang sedang sekarat.
Hari ini aku harus bekerja. Ah!, apa pedulimu dengan apa yang aku kerjakan hari ini. Tapi, dengan aku bercerita, setidaknya kau tahu betapa aku harus mengais-ngais tumpukan sampah hanya untuk mendapatkan uang 5 ribu rupiah dalam sehari dan tak jarang pendapatanku hanya 2500 rupiah per hari. Jika Tuhan sudah terlalu kasihan padaku, Ia akan memberiku rezeki lebih. Hahaha!, aku lupa jika kau juga tak tahu betapa tambahan 500 rupiah dalam sehari itu adalah rezeki bagiku. Aku juga lupa apakah kau tahu tentang apa itu rezeki, bahkan aku juga tak tahu apa kau mengenal apa itu Tuhan?. Ya!, seperti kau yang tak ingin tahu tentang aku, aku juga sama.
Sekarang aku bercerita tentang diriku, apa kau juga ingin menceritakan dirimu?. Silahkan. Tapi aku tak akan berjanji bahwa aku akan mendengarkan ceritamu. Kau juga tak mendengarkan apa yang ku ceritakan. Jika kau mendengarkan, coba sebutkan siapa nama adikku?, tentu kau tak tahu. “kau belum sebutkan nama adikmu!”. Oya?, bagus!. Berarti kau masih mengikuti ceritaku. Terimakasih.
Adikku bernama Nina, dan aku?. Sepertinya namaku tak terlalu penting dalam cerita ini. Anggap saja aku ini kau, kau yang memiliki seorang adik, dan siapapun nama adikmu, itu terserah kau. Kau yang sedang berharap agar adikmu yang sakit segera sembuh, kau yang sudah tidak memiliki orang tua, diberi kekuatan agar dapat menjaga adikmu yang sedang sekarat, kau yang sedang tak punya uang, diberi kemampuan untuk mendapatkan uang, kau yang ingin sekali melanjutkan kuliah, diberi waktu untuk memenuhi keinginanmu, kau yang perlu sedikit waktu untuk bertemu dengan wanita pujaanmu… ah!, tak ada waktu untuk itu. Apa kau masih akan tetap memikirkan wanita saat kau dihimpit oleh keadaan sepertiku?. Jika ya, terserah. Karena kau bukan aku. Aku tidak. Aku tak akan memikirkan wanita saat ini.
Kembali pada Nina, adikku. Bukankah kau masih ingin tahu tentang Nina?. Tentu. Sebagai orang yang tidak bodoh, kau pasti lebih tertarik dengan cerita Nina dibanding cerita tentangku. Baik, jika itu maumu!. Aku akan ceritakan siapa Nina.
Nina terlahir normal, sehat, dan tumbuh dengan sempurna. Dia anak perempuan yang manis, dengan lesung pipi, putih, bersih. Di mata saya sebagai seorang lelaki, dia adalah wanita sempurna. Saat kecil hingga menginjak bangku SMP, Nina adalah anak perempuan yang sangat lugu, pendiam tapi pintar. Di setiap kelas yang ia duduki, Nina selalu mendapat peringkat pertama. Tak terkalahkan.
“Hanya itu?, apa menurutmu itu cerita yang menarik?”
Tunggu! Kau belum mendengar semua ceritaku. Apa kau tahu berapa usia adikku saat ini?, Nina dua tahun lebih muda dariku, itu artinya, Nina saat ini duduk di bangku kelas 2 SMA. Apa kau tak ingin mendengar cerita tentang Nina saat sebelum masuk rumah sakit?, apa kau tak mau mendengar penyakit yang di derita Nina?, apa kau tak mau tahu kenapa Nina bisa mengidap penyakit separah itu, sehingga Nina harus dirawat dan dioperasi?, apa kau juga tak mau tahu mengenai kisah cinta Nina?, siapa lelaki yang berhasil mendapatkan hati Nina?, lelaki seperti apa dia?, dan apa kau tak ingin tahu kemana lelaki itu pergi saat Nina telah terbaring tak berdaya di rumah sakit?.
Sekali lagi terimakasih karena kau telah menjadi pendengar yang baik dengan menganggukkan kepalamu.
Oke, aku akan melanjutkan cerita. Saat duduk di bangku SMP, Nina, sebagai gadis lugu, tak pernah dekat dengan seorang lelakipun kecuali dalam kelompok belajar. Bukan karena lelaki tak mau mendekatinya, tapi selain karena Nina masih belum mengerti apa dan tentang apa pacaran itu, lelaki-lelaki yang mendekati Nina pun harus berfikir dua kali untuk mendekati Nina, karena pulang dan pergi ke sekolah, akulah yang menemaninya. Kau tau aku siapa?... Ups!, maaf, aku lupa jika kau tak mau tahu tentangku.
Mulai duduk di bangku SMA, beberapa bulan berlalu, hingga suatu saat, ketika pulang dari sekolah, Nina mulai mengeluh, ya, Nina lebih sering mencurahkan keluhannya padaku, Nina sudah menganggapku lebih dari sekedar seorang kakak baginya, mungkin juga lebih dari orang tuanya sendiri. Karena sejak lahir hingga saat ini, ia tak pernah terlalu mengenal figur ayah dan ibu dalam hidupnya. Orang tuanya-yang juga orang tuaku- terlalu sibuk dengan urusan bisnis yang kami tak tahu menahu tentang itu dan lebih tepatnya, kami tak ingin tahu, seperti juga kau yang tak ingin tahu tentang itu. Nina mengeluh ada rasa nyeri di dadanya, tepatnya, ia mengatakan padaku, ada rasa nyeri di payudaranya. Saat mendengar itu, aku hanya tersenyum kecil, dan setibanya di rumah, ia langsung menangis dan lari ke kamar. Barangkali ia merasa aku mulai tak memperhatikannya dan sudah mulai tak peduli padanya. Karena selama ini, ketika ia mengeluh atau mengadu tentang sesuatu, aku selalu menanggapinya dengan serius. Benar saja, saat aku coba menghiburnya, Nina langsung berteriak “Kakak sudah tak peduli padaku!, pasti kakak sudah punya pacar, apa kakak sudah lupa dengan janji kakak untuk tidak pacaran sebelum aku nikah?”. O my god! Aku lupa tentang itu. Aku benar-benar telah melupakannya.
Malam. Setelah Nina berhenti menangis dengan sendirinya. Tiba-tiba aku mendengar suara Nina menangis lagi. Aku bergegas ke kamarnya. Ku minta Nina membuka kamar tidurnya, berbeda dengan sebelumnya, ia langsung membukakan pintu untukku. Suara tangis Nina semakin terdengar keras saat pintu sudah terbuka. Aku memeluknya, mengusap kepalanya, sambil menanyakan apa yang terjadi dan sedang ada masalah apa sehingga membuatnya menangis tersedu. Nina hanya menjawab dengan kata sakit. Meskipun begitu, aku sudah tahu bahwa yang ia katakan sakit itu adalah dadanya. “payudaranya?”, stop!, aku tak ingin lagi mengatakan itu, kata itu terlalu vulgar bagiku. Mengerti sajalah dengan apa yang ku maksud dengan dada!.
Setelah dengan berbagai cara, akhirnya aku dapat menenangkannya. Keesokan harinya, aku mengantarkan Nina ke rumah sakit. Kau tahu?, ternyata Nina terkena kanker payudara. Aku terkejut. Saat itu aku mulai sadar, bahwa semua manusia tak ada yang sempurna. Adikku, Nina, yang menurutku-juga mungkin menurutmu- adalah wanita sempurna, ternyata pada akhirnya dia diberi kekurangan. Itu yang kusampaikan pada Nina sekembali dari rumah sakit. Nina terdiam. Berhari-hari. Hingga suatu saat ia membaca sebuah artikel di internet. Pada mulanya aku tak terlalu peduli dengan artikel yang ia baca. Begitulah aku. Selalu peduli saat semua benar-benar telah kacau.
Apa kau tahu artikel apa yang di baca oleh Nina?. Artikel itu berisi curahan hati seorang wanita yang juga terkena kanker payudara. Didalamnya, wanita itu bercerita, ia terkena kanker payudara karena ia tak pernah mendapat sentuhan lelaki. Tentu kau tahu apa yang ku maksud dengan kata sentuhan, bukan?. Aku tak percaya dengan isi artikel itu, seperti juga halnya kau yang mengutuk isi artikel itu. Tapi Nina percaya. Kau tahu mengapa Nina percaya?. Apa kau sudah lupa?. Nina adalah gadis lugu. Meskipun dia pintar dalam belajar, tapi Nina tetap saja lugu, tepatnya cupu tentang pengetahuannya akan lelaki. Itu salahku. Karena aku tak pernah mengajarinya tentang itu. Tapi kau juga tak boleh seenaknya menyalahkan aku sepenuhnya. Sebagai pendengar yang baik, kau juga harus menyalahkan Nina karena ia tak pernah mau bertanya tentang itu. Yang ia tanya selalu materi atau pelajaran di sekolah. Ya, meskipun aku memang pintar, tapi sesekali aku juga ingin ditanya mengenai perasaanku pada wanita, agar ia dapat belajar bagaimana menjadi wanita yang dapat diidamkan oleh banyak lelaki.
Beberapa hari setelah membaca artikel itu, Nina mulai berubah. Kau sadar, betapa mudahnya seseorang yang sedang dan masih labil dapat berubah drastis dalam beberapa detik tentang keadaan juga perasaannya. Begitu juga dengan Nina. Setiap malam, Nina selalu keluar dari kamarnya. Tak tahu entah kemana. Yang ada dalam fikiranku, ia pergi ke taman, duduk disana sambil menyeruput teh hangat atau kopi sambil membaca buku dan majalah. Jadi aku tak terlalu khawatir. Tapi, hingga saat beberapa hari setelah hari kelulusanku di sekolah, dan saat ia mulai duduk di kelas 2 SMA, aku mulai merasa sangat khawatir, karena aku tak melihat Nina duduk di taman sambil menyeruput teh atau kopi dan membaca buku seperti yang kubayangkan jauh sebelumnya. Ia menghilang entah kemana. Barangkali malam-malam sebelumnya sejak setahun yang lalu sesaat setelah membaca artikel itu, Nina juga telah menghilang. Aku mencarinya di segala penjuru. Tak kutemukan. Aku memutuskan untuk kembali pulang. Esok paginya ku tilik kamar Nina. Ia sudah tergeletak disana. Ada aroma yang tak kusuka. Aroma alkohol. Aku langsung menarik tangannya hingga ia terduduk. Matanya merah. Ia kaget. Mungkin ia merasa bahwa itu adalah mimpi. Kemudian ia pejamkan lagi matanya. Aku bertanya padanya apa yang telah ia lakukan dan dari mana saja ia semalaman. Nina diam. Masih sambil terpejam. Sepertinya ia sedang memikirkan jawaban yang tepat. Tapi aku memutuskan untuk tak mendengar jawaban omong kosongnya. Nina berubah. Dia bukan adikku. Aku tak lagi mengenalinya.
Malam datang lagi. Kali ini aku mulai mengawasi Nina dengan ketat. Tentunya hal pertama yang ku lakukan adalah menyita handphone nya. Jam mulai menunjukkan pukul 23.00, sebuah pesan masuk ke handphone Nina yang sedang berada di genggamanku. Dari Tante Eno. Sepertinya nama itu tak asing bagiku. Sepertinya aku pernah membaca nama itu. Ya!, penulis artikel. Dia adalah penulis artikel tentang kanker payudara itu. Segera ku buka pesannya. Alangkah terkejutnya setelah membaca pesan itu, kau juga pasti akan terkejut membacanya. Kau ingin tahu apa isinya?. Isinya seperti ini: Nin, malam ini ada dua om-om tajir yang mau tidur denganmu, kau pilih pengusaha atau politikus?.
Setelah membaca SMS itu, tanpa membiarkan sedetik waktu berlalu, aku mulai berteriak memanggil Nina dan meluapkan segala amarah yang benar-benar terbakar dan membludak tak tertahankan hingga aku tak lagi tahu apa yang keluar dari mulutku. Mulai dari caci maki, dan sebagainya. Semua tumpah ruah didepan mukanya. Nina hanya diam. Akhirnya aku juga diam. Ku tatap wajahnya. Pucat. Pada mulanya aku berfikir dia hanya ketakutan melihatku marah. Tapi beberapa menit setelah itu, dia jatuh pingsan. Aku langsung membawanya ke rumah sakit. Setelah dokter memeriksanya, aku tak yakin kau ingin tahu tentang hal yang satu ini, Nina positif mengidap HIV-AIDS.
Nah, setelah mendengar cerita ini, apa kau masih tak mau tahu tentangku dan apa yang sedang aku lakukan saat ini?. Saat ini aku sedang menunggu nafas terakhir yang dapat di hirup oleh adikku, aku sedang menunggu saat-saat aku menjadi sebatang kara seutuhnya, tanpa orang tua, tanpa adik, tanpa kekasih, tanpa pendidikan yang cukup, dan juga tentunya tanpa kehidupanku sendiri.
Sekarang, mana yang akan kau pilih jika kau jadi aku?, menangis, meratapi semua yang terjadi padamu?, atau kau akan memilih menyerahkan kehidupanmu kepada Tuhan dengan cara memotong urat nadimu kemudian kau gantung lehermu dengan seutas tali di depan pintu kamar mayat?!

Pekanbaru
Kamis, 21 Juli 2011
14:29 WIB

*) 
Terbit di Harian Pagi METRO RIAU 
edisi : Minggu, 19 Februari 2012




Tidak ada komentar:

Posting Komentar