Air langit
menirai jiwaku yang terapung di angin, angin membawa ombak yang diatasnya
berselancar kekhawatiran. Tentang topan yang pernah membajak ombak dan
membawanya menjajah butir-butir pasir di landainya pantai getir.
Air langit
menirai jiwaku yang mulai banjir oleh zikir, tenggelam dalam lautan tadbir dan
terbakar oleh kobaran takbir. Kekal keheningan, kekal pula kelengangan yang
begitu kosong. Tak sesuatupun menyiramkan air-air tawa atau sesuatu yang
bahagia lainnya.
Air langit tak
pernah memberikan kekekalan, dan kekal tak pernah ingin bersanding dengan ku
walau jiwaku telah basah, lelah bersimbah peluh yang begitu gerah. Mendesahpun
percuma karena angin telah berakad dengan alam. Dan alam tentu tak sudi jika
aku menjadi selingkuhan bagi kekasihnya itu, angin kegelisahan dan kegembiraan.
Air langit
jiwaku hanya bersisa setetes saja setelah aku menertawai kepedihanku sendiri.
Tak begitu berarti sebenarnya, tetapi
legamnya kealpaanku yang terserak ini mungkin akan terkutip oleh butir-butir
tersebut dan hilanglah ia.
Air langit
jiwaku tak lagi menirai. Air langit jiwaku telah menyeringai. Walaupun
seringainya bermakna sejuta alpa, sejuta dosa, sejuta nestapa dan berjuta
bahkan berjuta-juta duka,-
Pekanbaru, 23
Desember 2008
Tidak ada komentar:
Posting Komentar