Rabu, 21 Desember 2011

Puisi-Air langit jiwaku


Air langit menirai jiwaku yang terapung di angin, angin membawa ombak yang diatasnya berselancar kekhawatiran. Tentang topan yang pernah membajak ombak dan membawanya menjajah butir-butir pasir di landainya pantai getir.

Air langit menirai jiwaku yang mulai banjir oleh zikir, tenggelam dalam lautan tadbir dan terbakar oleh kobaran takbir. Kekal keheningan, kekal pula kelengangan yang begitu kosong. Tak sesuatupun menyiramkan air-air tawa atau sesuatu yang bahagia lainnya.

Air langit tak pernah memberikan kekekalan, dan kekal tak pernah ingin bersanding dengan ku walau jiwaku telah basah, lelah bersimbah peluh yang begitu gerah. Mendesahpun percuma karena angin telah berakad dengan alam. Dan alam tentu tak sudi jika aku menjadi selingkuhan bagi kekasihnya itu, angin kegelisahan dan kegembiraan.

Air langit jiwaku hanya bersisa setetes saja setelah aku menertawai kepedihanku sendiri. Tak begitu berarti  sebenarnya, tetapi legamnya kealpaanku yang terserak ini mungkin akan terkutip oleh butir-butir tersebut dan hilanglah ia.


Air langit jiwaku tak lagi menirai. Air langit jiwaku telah menyeringai. Walaupun seringainya bermakna sejuta alpa, sejuta dosa, sejuta nestapa dan berjuta bahkan berjuta-juta duka,-

Pekanbaru, 23 Desember 2008

Tidak ada komentar:

Posting Komentar