Cerita
Jika kau jadi
aku, apa yang akan kau lakukan?. Menangis?, atau memotong urat nadi?, ya!,
bunuh diri!. Atau jika terlalu mudah bunuh diri dengan memotong urat nadi, kau
bisa berbaring di atas rel kereta api, kau juga bisa melakukannya dengan cara
melompat dari atap gedung berlantai 30, atau jika ada, dari gedung yang
berlantai seratus. Huft! Sepertinya kau hanya akan tertawa. Tetap saja itu kau,
bukan aku. Kau tak tahu ketika mimpi panjang yang telah ku susun sedemikian
rupa untuk melanjutkan jenjang pendidikan sarjanaku ke University of Tokyo
hangus sesaat setelah semua biaya yang ku persiapkan bertahun-tahun habis untuk
mengobati biaya operasi adikku yang mengidap penyakit komplikasi. Aku tak tahu
komplikasi apa saja yang diderita adikku. Yang aku tahu, dokter hanya
menyampaikan itu. Selebihnya, aku tak mau tahu. Kau juga tak tahu ketika
harapan kedua-ku untuk melanjutkan kuliah di Ilmu Komunikasi Unisba, hanyut
terbawa tangisan saat kedua orang tuaku meninggal dalam kecelakan. Dan aku
tentunya harus menjaga adikku yang sedang terbaring di rumah sakit. Kau juga
pasti tak akan mau tahu kenapa aku tak melanjutkan pendidikan setelah aku lulus
dari sekolah menengah atas. Untuk apa kau tahu?, tak ada gunanya, bukan?.
Memangnya aku ini siapa, bagimu?. Bukan siapa-siapa. Aku hanya seorang lelaki.
Dengan adik perempuan yang sedang sekarat.
Hari ini aku
harus bekerja. Ah!, apa pedulimu dengan apa yang aku kerjakan hari ini. Tapi,
dengan aku bercerita, setidaknya kau tahu betapa aku harus mengais-ngais
tumpukan sampah hanya untuk mendapatkan uang 5 ribu rupiah dalam sehari dan tak
jarang pendapatanku hanya 2500 rupiah per hari. Jika Tuhan sudah terlalu
kasihan padaku, Ia akan memberiku rezeki lebih. Hahaha!, aku lupa jika kau juga
tak tahu betapa tambahan 500 rupiah dalam sehari itu adalah rezeki bagiku. Aku
juga lupa apakah kau tahu tentang apa itu rezeki, bahkan aku juga tak tahu apa
kau mengenal apa itu Tuhan?. Ya!, seperti kau yang tak ingin tahu tentang aku,
aku juga sama.
Sekarang aku bercerita
tentang diriku, apa kau juga ingin menceritakan dirimu?. Silahkan. Tapi aku tak
akan berjanji bahwa aku akan mendengarkan ceritamu. Kau juga tak mendengarkan
apa yang ku ceritakan. Jika kau mendengarkan, coba sebutkan siapa nama adikku?,
tentu kau tak tahu. “kau belum sebutkan nama adikmu!”. Oya?, bagus!. Berarti
kau masih mengikuti ceritaku. Terimakasih.
Adikku bernama
Nina, dan aku?. Sepertinya namaku tak terlalu penting dalam cerita ini. Anggap
saja aku ini kau, kau yang memiliki seorang adik, dan siapapun nama adikmu, itu
terserah kau. Kau yang sedang berharap agar adikmu yang sakit segera sembuh,
kau yang sudah tidak memiliki orang tua, diberi kekuatan agar dapat menjaga
adikmu yang sedang sekarat, kau yang sedang tak punya uang, diberi kemampuan
untuk mendapatkan uang, kau yang ingin sekali melanjutkan kuliah, diberi waktu
untuk memenuhi keinginanmu, kau yang perlu sedikit waktu untuk bertemu dengan
wanita pujaanmu… ah!, tak ada waktu untuk itu. Apa kau masih akan tetap
memikirkan wanita saat kau dihimpit oleh keadaan sepertiku?. Jika ya, terserah.
Karena kau bukan aku. Aku tidak. Aku tak akan memikirkan wanita saat ini.
Kembali pada
Nina, adikku. Bukankah kau masih ingin tahu tentang Nina?. Tentu. Sebagai orang
yang tidak bodoh, kau pasti lebih tertarik dengan cerita Nina dibanding cerita
tentangku. Baik, jika itu maumu!. Aku akan ceritakan siapa Nina.
Nina terlahir
normal, sehat, dan tumbuh dengan sempurna. Dia anak perempuan yang manis,
dengan lesung pipi, putih, bersih. Di mata saya sebagai seorang lelaki, dia
adalah wanita sempurna. Saat kecil hingga menginjak bangku SMP, Nina adalah
anak perempuan yang sangat lugu, pendiam tapi pintar. Di setiap kelas yang ia
duduki, Nina selalu mendapat peringkat pertama. Tak terkalahkan.
“Hanya itu?, apa
menurutmu itu cerita yang menarik?”
Tunggu! Kau
belum mendengar semua ceritaku. Apa kau tahu berapa usia adikku saat ini?, Nina
dua tahun lebih muda dariku, itu artinya, Nina saat ini duduk di bangku kelas 2
SMA. Apa kau tak ingin mendengar cerita tentang Nina saat sebelum masuk rumah
sakit?, apa kau tak mau mendengar penyakit yang di derita Nina?, apa kau tak
mau tahu kenapa Nina bisa mengidap penyakit separah itu, sehingga Nina harus
dirawat dan dioperasi?, apa kau juga tak mau tahu mengenai kisah cinta Nina?,
siapa lelaki yang berhasil mendapatkan hati Nina?, lelaki seperti apa dia?, dan
apa kau tak ingin tahu kemana lelaki itu pergi saat Nina telah terbaring tak
berdaya di rumah sakit?.
Sekali lagi
terimakasih karena kau telah menjadi pendengar yang baik dengan menganggukkan
kepalamu.
Oke, aku akan
melanjutkan cerita. Saat duduk di bangku SMP, Nina, sebagai gadis lugu, tak
pernah dekat dengan seorang lelakipun kecuali dalam kelompok belajar. Bukan
karena lelaki tak mau mendekatinya, tapi selain karena Nina masih belum
mengerti apa dan tentang apa pacaran itu, lelaki-lelaki yang mendekati Nina pun
harus berfikir dua kali untuk mendekati Nina, karena pulang dan pergi ke
sekolah, akulah yang menemaninya. Kau tau aku siapa?... Ups!, maaf, aku lupa
jika kau tak mau tahu tentangku.
Mulai duduk di
bangku SMA, beberapa bulan berlalu, hingga suatu saat, ketika pulang dari
sekolah, Nina mulai mengeluh, ya, Nina lebih sering mencurahkan keluhannya
padaku, Nina sudah menganggapku lebih dari sekedar seorang kakak baginya,
mungkin juga lebih dari orang tuanya sendiri. Karena sejak lahir hingga saat
ini, ia tak pernah terlalu mengenal figur ayah dan ibu dalam hidupnya. Orang
tuanya-yang juga orang tuaku- terlalu sibuk dengan urusan bisnis yang kami tak
tahu menahu tentang itu dan lebih tepatnya, kami tak ingin tahu, seperti juga
kau yang tak ingin tahu tentang itu. Nina mengeluh ada rasa nyeri di dadanya,
tepatnya, ia mengatakan padaku, ada rasa nyeri di payudaranya. Saat mendengar
itu, aku hanya tersenyum kecil, dan setibanya di rumah, ia langsung menangis
dan lari ke kamar. Barangkali ia merasa aku mulai tak memperhatikannya dan
sudah mulai tak peduli padanya. Karena selama ini, ketika ia mengeluh atau
mengadu tentang sesuatu, aku selalu menanggapinya dengan serius. Benar saja,
saat aku coba menghiburnya, Nina langsung berteriak “Kakak sudah tak peduli
padaku!, pasti kakak sudah punya pacar, apa kakak sudah lupa dengan janji kakak
untuk tidak pacaran sebelum aku nikah?”. O my god! Aku lupa tentang itu. Aku
benar-benar telah melupakannya.
Malam. Setelah
Nina berhenti menangis dengan sendirinya. Tiba-tiba aku mendengar suara Nina
menangis lagi. Aku bergegas ke kamarnya. Ku minta Nina membuka kamar tidurnya,
berbeda dengan sebelumnya, ia langsung membukakan pintu untukku. Suara tangis
Nina semakin terdengar keras saat pintu sudah terbuka. Aku memeluknya, mengusap
kepalanya, sambil menanyakan apa yang terjadi dan sedang ada masalah apa
sehingga membuatnya menangis tersedu. Nina hanya menjawab dengan kata sakit.
Meskipun begitu, aku sudah tahu bahwa yang ia katakan sakit itu adalah dadanya.
“payudaranya?”, stop!, aku tak ingin lagi mengatakan itu, kata itu terlalu
vulgar bagiku. Mengerti sajalah dengan apa yang ku maksud dengan dada!.
Setelah dengan
berbagai cara, akhirnya aku dapat menenangkannya. Keesokan harinya, aku
mengantarkan Nina ke rumah sakit. Kau tahu?, ternyata Nina terkena kanker
payudara. Aku terkejut. Saat itu aku mulai sadar, bahwa semua manusia tak ada
yang sempurna. Adikku, Nina, yang menurutku-juga mungkin menurutmu- adalah
wanita sempurna, ternyata pada akhirnya dia diberi kekurangan. Itu yang
kusampaikan pada Nina sekembali dari rumah sakit. Nina terdiam. Berhari-hari.
Hingga suatu saat ia membaca sebuah artikel di internet. Pada mulanya aku tak
terlalu peduli dengan artikel yang ia baca. Begitulah aku. Selalu peduli saat
semua benar-benar telah kacau.
Apa kau tahu
artikel apa yang di baca oleh Nina?. Artikel itu berisi curahan hati seorang
wanita yang juga terkena kanker payudara. Didalamnya, wanita itu bercerita, ia
terkena kanker payudara karena ia tak pernah mendapat sentuhan lelaki. Tentu
kau tahu apa yang ku maksud dengan kata sentuhan, bukan?. Aku tak percaya
dengan isi artikel itu, seperti juga halnya kau yang mengutuk isi artikel itu.
Tapi Nina percaya. Kau tahu mengapa Nina percaya?. Apa kau sudah lupa?. Nina
adalah gadis lugu. Meskipun dia pintar dalam belajar, tapi Nina tetap saja
lugu, tepatnya cupu tentang pengetahuannya akan lelaki. Itu salahku. Karena aku
tak pernah mengajarinya tentang itu. Tapi kau juga tak boleh seenaknya
menyalahkan aku sepenuhnya. Sebagai pendengar yang baik, kau juga harus
menyalahkan Nina karena ia tak pernah mau bertanya tentang itu. Yang ia tanya
selalu materi atau pelajaran di sekolah. Ya, meskipun aku memang pintar, tapi sesekali
aku juga ingin ditanya mengenai perasaanku pada wanita, agar ia dapat belajar
bagaimana menjadi wanita yang dapat diidamkan oleh banyak lelaki.
Beberapa hari
setelah membaca artikel itu, Nina mulai berubah. Kau sadar, betapa mudahnya
seseorang yang sedang dan masih labil dapat berubah drastis dalam beberapa
detik tentang keadaan juga perasaannya. Begitu juga dengan Nina. Setiap malam,
Nina selalu keluar dari kamarnya. Tak tahu entah kemana. Yang ada dalam
fikiranku, ia pergi ke taman, duduk disana sambil menyeruput teh hangat atau
kopi sambil membaca buku dan majalah. Jadi aku tak terlalu khawatir. Tapi,
hingga saat beberapa hari setelah hari kelulusanku di sekolah, dan saat ia
mulai duduk di kelas 2 SMA, aku mulai merasa sangat khawatir, karena aku tak
melihat Nina duduk di taman sambil menyeruput teh atau kopi dan membaca buku
seperti yang kubayangkan jauh sebelumnya. Ia menghilang entah kemana.
Barangkali malam-malam sebelumnya sejak setahun yang lalu sesaat setelah
membaca artikel itu, Nina juga telah menghilang. Aku mencarinya di segala
penjuru. Tak kutemukan. Aku memutuskan untuk kembali pulang. Esok paginya ku
tilik kamar Nina. Ia sudah tergeletak disana. Ada aroma yang tak kusuka. Aroma
alkohol. Aku langsung menarik tangannya hingga ia terduduk. Matanya merah. Ia
kaget. Mungkin ia merasa bahwa itu adalah mimpi. Kemudian ia pejamkan lagi
matanya. Aku bertanya padanya apa yang telah ia lakukan dan dari mana saja ia
semalaman. Nina diam. Masih sambil terpejam. Sepertinya ia sedang memikirkan
jawaban yang tepat. Tapi aku memutuskan untuk tak mendengar jawaban omong
kosongnya. Nina berubah. Dia bukan adikku. Aku tak lagi mengenalinya.
Malam datang
lagi. Kali ini aku mulai mengawasi Nina dengan ketat. Tentunya hal pertama yang
ku lakukan adalah menyita handphone nya. Jam mulai menunjukkan pukul 23.00,
sebuah pesan masuk ke handphone Nina yang sedang berada di genggamanku. Dari
Tante Eno. Sepertinya nama itu tak asing bagiku. Sepertinya aku pernah membaca
nama itu. Ya!, penulis artikel. Dia adalah penulis artikel tentang kanker
payudara itu. Segera ku buka pesannya. Alangkah terkejutnya setelah membaca
pesan itu, kau juga pasti akan terkejut membacanya. Kau ingin tahu apa isinya?.
Isinya seperti ini: Nin, malam ini ada dua om-om tajir yang mau tidur denganmu,
kau pilih pengusaha atau politikus?.
Setelah membaca
SMS itu, tanpa membiarkan sedetik waktu berlalu, aku mulai berteriak memanggil
Nina dan meluapkan segala amarah yang benar-benar terbakar dan membludak tak
tertahankan hingga aku tak lagi tahu apa yang keluar dari mulutku. Mulai dari
caci maki, dan sebagainya. Semua tumpah ruah didepan mukanya. Nina hanya diam.
Akhirnya aku juga diam. Ku tatap wajahnya. Pucat. Pada mulanya aku berfikir dia
hanya ketakutan melihatku marah. Tapi beberapa menit setelah itu, dia jatuh
pingsan. Aku langsung membawanya ke rumah sakit. Setelah dokter memeriksanya,
aku tak yakin kau ingin tahu tentang hal yang satu ini, Nina positif mengidap
HIV-AIDS.
Nah, setelah
mendengar cerita ini, apa kau masih tak mau tahu tentangku dan apa yang sedang
aku lakukan saat ini?. Saat ini aku sedang menunggu nafas terakhir yang dapat
di hirup oleh adikku, aku sedang menunggu saat-saat aku menjadi sebatang kara
seutuhnya, tanpa orang tua, tanpa adik, tanpa kekasih, tanpa pendidikan yang
cukup, dan juga tentunya tanpa kehidupanku sendiri.
Sekarang, mana
yang akan kau pilih jika kau jadi aku?, menangis, meratapi semua yang terjadi
padamu?, atau kau akan memilih menyerahkan kehidupanmu kepada Tuhan dengan cara
memotong urat nadimu kemudian kau gantung lehermu dengan seutas tali di depan
pintu kamar mayat?!
Pekanbaru
Kamis, 21 Juli 2011
14:29 WIB
*)
Terbit di Harian Pagi METRO RIAU
edisi : Minggu, 19 Februari 2012