Selasa, 29 Mei 2012

Cerpen Karya Yoan Fa (Sahabat SatuMataPena)

ilustrasi
Rembulan di antara bintik hujan

Menjalani hidup apa adanya. Setidaknya inilah yang menjadi tujuan Arini sekarang. Pergi ngantor, menyiram tanaman di sore hari dan berbelanja. Tak ada yang istimewa namun semuanya harus menjadi istimewa agar kehidupan ini tidak selalu murung. Sehingga ia bisa melewati waktu sendirian lima tahun belakangan ini.
Semua tentu tak akan menyangka perceraian Arini. Dua tahun berumah tangga ternyata cukup sudah bagi Arini.  Tanpa ragu ia melayangkan gugatan cerainya ke pengadilan agama di kota ini. Singkat kata dalam tiga kali persidangan semua telah sah menjadi sebuah perceraian yang syah dan terdaftar di negara.
Arini dan Jon dianggap pasangan sempurna. Mereka terlihat kerap menyiram bunga di sore hari. Atau pergi weekend ke taman, makan di restoran atau pergi massage berdua. Pasangan ini amat romantis.
Lalu apa yang kurang lagi bagi Arini sehingga ia begitu mantap mengajukan gugatan? Hanya ia yang tahu pasti. Semua menyesalkan hal itu. Namun inilah pilihan yang tak akan disesali Arini.
Setahun pertama pernikahan memang terasa manis baginya. Sifat Jon yang pengertian membuat Arini semakin menyanjung suaminya. Lalu di tahun berikutnya mulailah muncul sifat asli Jon. Suka kasar dan main tangan kerap ia lakukan. Kecemburuan yang berlebihan pun sering menjadi alasan sebuah pertengkaran di rumah tangga mereka.
Arini adalah seorang  Public Relation (PR) di sebuah hotel yang cukup ternama. Sehari-hari ia bergaul dengan para karyawan maupun tamu hotel  yang mana sudah ia kenal sebagian. Tak jarang pejabat-pejabat yang menjadi tamu hotel itu terlihat akrab dengannya.
Inilah yang menjadi alasan bagi Jon untuk mensahkan perbuatannya memukul, menampar ataupun main kaki kepada istrinya. Memang setahun lebih kurang sejak menikah , Arini naik jabatan dari staf menjadi PR di hotel itu. Sepertinya Jon tak siap punya istri dengan jabatan yang cukup lumayan itu.
Tak jarang Jon menuduh Arini berbuat mesum dengan para pejabat –pejabat yang ada di hotel. Kecurigaannya sangat berlebihan. Padahal itu hanya acara formal makan siang saja. Itupun beramai-ramai di restoran hotel. Atau sesama karyawan hotel saja curiganya minta ampun. Pernah Jon menuduh Arini berselingkuh dengan salah satunya karena mereka cukup dekat. Yakni dengan Budi. Padahal Budi sendiri adalah pria beristri. Arini pun sudah kenal cukup lama dengan Budi, semenjak sekolah dulu. Jadi wajar mereka tidak kaku lagi.
Mendengar bisik-bisik di kantor soal perceraiannya Arini hanya bisa tersenyum. Walaupun itu sangat getir.  Hanya ia yang mungkin tahu soal perilaku kasar Jon. Dihadapan rekan-rekannya, Jon selalu terlihat manis. Menjemput istrinya pulang kerja menjadikan orang tak menaruh curiga akan biduk rumah tangga yang sudah tiris itu.
Mungkin saja Arini tidak puas dengan suami yang pekerjaannya lebih rendah. Atau mungkin saja Arini mandul. Sudah dua tahun kawin kok nggak punya anak. Menyakitkan dan amat pedas dirasakan oleh telinga yang mendengarnya. Namun Arini mencoba untuk tidak terpancing emosi  dengan semuanya.
Jangan takut menikah lagi. Gagal menikah bukan tak laku. Malahan itu menjadi pelajaran berharga buat kita dalam mengenali seorang pria. Setidaknya suara-suara yang seperti ini menjadi penyejuk hatinya kala masih trauma dengan perceraiannya.
Perceraian itu memang menyisakan luka. Orang-orang mencapnya sebagai orang yang gagal. Parahnya lagi predikat janda membuatnya kerap dicap sebagai wanita kesepian dan gatal sama lelaki. Terserah apapun kata orang. Yang penting Arini bukan wanita seperti itu.
Hatinya ibarat sudah kering bak padang pasir soal lelaki. Hambar dan tak ada rasa lagi. Padahal orang tuanya sudah menyarankan ia untuk menikah lagi. Namun rasa-rasa bekas tamparan ataupun pukulan itu masih terngiang-ngiang di benaknya. Takut .
Bukan berarti pula ia tak akan menikah lagi seumur hidup. Hidup mesti berlanjut. Walaupun belum ada yang kena di hatinya lagi. Tak berarti pula tak ada pria yang datang kepadanya. Arini yang terbilang cantik berwajah khas Indonesia dan kulit sawo matang. Terlebih lagi sebagai PR di hotel tentunya  penampilan harus menarik.
Entah berapa laki-laki yang datang padanya. Ada yang lajang. Bahkan seorang pria beristri pun datang kepadanya mengajukan diri untuk menjadi suaminya. Tanpa ragu.
“Terima kasih Pak Sarwo, anda sudah meluangkan waktu untuk bertemu saya. Namun saya minta maaf saya tidak bisa menerima lamaran bapak. Saya fikir saya tidak bisa menjadi istri ketiga bapak,” ujar Arini pada Sarwo yang sangat percaya diri itu. Sarwo adalah seorang pejabat pemerintah. Kalau tidak salah dia sudah beristri dua. Namun kabar-kabarnya lagi ia juga memiliki simpanan di salah satu apartemennya. Entah istrinya atau bukan , Arini tidak ingin tahu lebih banyak tentang pria yang umurnya sudah lebih setengah abad itu.
Arini masih lebih bahagia dengan kesendiriannya. Tanpa pukulan, tamparan dan makian. Itu sudah menjadi kebahagiaan yang tak ternilai harganya. Meskipun harus menjanda. Toh, lama-lama gosip miring di kantor pun reda. Tak terbukti ia wanita kesepian yang bahkan bisa merebut suami orang.
Sebagai wanita karir ia melakukan segala sesuatunya sendiri. Tak tergantung orang lain. Dengan hasil keringatnya sendiri, sudah dua tahun pula ia memiliki sebuah mobil pribadi. Meskipun mobil bekas setidaknya bisa membantunya untuk pulang-pergi ke kantor lebih nyaman. Menghindari resiko berdesakan di bus ataupun kecopetan yang marak.
Hari ini Arini naik bus ke kantornya. Tidak biasanya. Mobil sedang diperbaiki di bengkel dan memakan waktu sekitar tiga hari. Jadi mau tak mau ia mesti naik bus. Berdesakan dengan sesama penumpang. Ia tak keberatan, toh dulunya setiap hari juga seperti itu.
Waktu menunjukkan pukul Sembilan malam. Pulang kantor agak telat. Maklum lagi banyak pekerjaan. Apalagi besok ada konfrensi pers. Jadi segala sesuatunya harus clear agar tidak mengecewakan tamu.
Bus kota pun mulai jarang. Sudah lima belas menit. Belum ada yang lewat. Jalanan sepi. Ditambah rinai hujan sejak magrib membuat orang semakin malas untuk berlalu lalang. Lebih senang mengurung diri di rumah.
Bertambah lama hujan itu bertambah deras. Belum juga ada bus yang lewat. Haltepun mulai basah oleh tempias air hujan yang menerpa bersama angin yang semakin kencang. Dari jauh terlihat sebuah bus yang melaju pelan. Mudah-mudahan ia mau berhenti.
Ternyata benar. Bus itupun berhenti di depan halte. Meski harus berbasah-basahan Arini mulai melangkahkan kaki. Daripada pulang kemalaman mending basah kuyup saja. Toh sesampai di rumah bisa ganti baju lagi.
Hujan itu tak menerpa ke kepalanya. Dilindungi sebuah tudung. Arini tersentak kaget. Ada seorang pria menawarkan jasa baik. Mantelnya cukup melindungi Arini dan pria itu agar kepala mereka tidak kebasahan saat menju pintu bus. Keadaan sedikit memaksanya untuk menerima jasa baik pria yang sedikit urakan itu untuk ukuran umurnya. Seperti sepasang kekasih yang kehujanan.
“Terima kasih,” ujar Arini setelah sampai di dalam bus. Ia tak mau duduk terlalu dekat dengan pria itu. Hanya sekadar waspada dan hati-hati. Pria itu pun mengangguk.
Setelah tiga lampu merah di persimpangan itu pria tadi menyuruh sang kernet berhenti. Arini sedikit lega karena ia lebih duluan berhenti. Jadi mudah-mudahan dia bukan orang jahat.
Tetapi pria itu malah mendekat padanya. Sembari memberikan mantel berwarna coklat miliknya tadi. “Ini bawalah untuk mu. Kamu kedinginan nanti bisa sakit,” katanya seraya berlalu pergi. Arini bisa melihat wajahnya dengan jelas. Sembari kaget yang dapat ia sembunyikan.
Pria tadi ternyata berambut pirang, dan matanya hijau. Bisa dipastikan ia orang asing. Namun bahasa Indonesianya cukup bagus terdengar. Ah, ini mungkin kebetulan saja ada orang yang berbaik hati padaku. 
Sepulang kerja besoknya Arini kembali ke halte bus itu pada pukul 9 malam lagi. Tapi ia tidak menunggu bus. Di baik kaca mobil ia mengintip siapa tahu pria asing kemarin menunggu bus lagi. Tapi ternyata tidak ada pria dengan tubuh tinggi berkulit putih itu di sana.
Arini mencoba merogoh saku jaket yang cukup panjang itu. Siapa tahu ada nomor telpon atau alamat dimana orang itu tinggal. Ternyata hasilnya nihil. Ia hanya menemukan sebuah kertas lirik lagu dalam bahasa asing. Sepertinya bahasa Perancis. Mungkin saja ia orang Perancis. Tapi tidak tahulah.
Sudah sebulan berlalu. Namun Arini tak pernah melihat pria asing yang urakan itu lagi. Mungkin saja dia sudah pulang kampung. Hanya turis yang kebetulan berbaik hati.
“Memangnya ada masalah apa, sampai dia ingin menemui PR hotel? Lagian apa hubungannya. Bukankah sudah ada Budi? ,” ujar Arini kepada salah seorang stafnya.
“Maaf bu, kami juga merasa tidak ada pelayanan yang salah. Namun tamu kita mengatakan ingin komplain,” ujar sang pegawai.
Biasa memang ada tamu yang banyak permintaan seperti itu. Tapi kenapa ia sampai harus turun tangan. Budi pun menggeleng ketika ia tanya.
“Tamu ini sudah tiga hari menginap. Permintaannya pun aneh-aneh. Sampai mengantarkan makanan pun mesti Pak Budi , Buk Arini,” tambah pegawai hotel tadi.
“Ya sudah, saya akan coba temui. Apa maunya tamu ini,” ujar Arini. Budi dan pegawai perempuan itu pun mengangguk.
“Semoga beruntung,” ujar Budi sambil tersenyum. Aneh. Teman lagi susah kok ngeledekin gitu. Bukannya membantu. Arini sedikit keki dengan tingkah teman sekolahnya itu.
Tamu hotel itupun mengetuk pintu ruangan Arini.
“Silakan masuk Pak,” ujar Arini berusaha tersenyum sambil bicara seramah mungkin.
Tamu itu pun membuka daun pintu dan senyum kepada sang PR hotel itu.
Arini sedikit kaget sambil meneruskan senyumnya.
“Oh iya, silakan duduk,” sapa Arini.
“Maaf, apakah anda bisa berbahasa Indonesia,? “ tanya Arini lagi.
“Ya, tentu saja,”
“Jaket anda masih saya simpan. Saya ingin mengembalikannya tapi tak pernah bertemu anda lagi di halte bus,” sebut Arini yang menebak-nebak apa yang akan dilakukan pria bertindik itu.
“Terima kasih, “ ujarnya senyum memamerkan gingsul yang membuat ia terlihat menarik di mata perempuan.
“Saya Patrick,” ujarnya seraya mengulurkan tangannya.
“Arini,” ucap Arini membalasnya.
“Maaf Mr.Patrick, apa ada pelayanan hotel yang kurang berkenan,?” katanya mencoba untuk tidak tergoda pria bule yang tampaknya sedikit mencoba merayu itu.
“Tentu tidak . Malah pelayanannya sangat baik. Saya senang dengan Pak Badi, dia teman yang baik,” Patrick sepertinya agak susah mengeja nama Budi.
Ternyata Budi sudah bersekongkol dengan pria ini.
“Badi bercerita banyak kepada saya,” jelas Patrick.
Tanpa ragu lagi Patrick mengeluarkan sebuah cincin dari saku jaket jeans yang sedikit kusam itu. Arini mengerti apa maksudnya sekarang.
“Jadi, anda menguntit saya,?”
“Ya , “ katanya.
Arini menjadi kaget. Bukan kepalang. Kali ini tak dapat ia sembunyikan lagi. Mukanya memerah. Entah kaget atau menahan malu.
“Saya tahu anda bekerja di hotel ini. Dari seragam yang kamu pakai ketika kita berjumpa di halte bus. Maka saya putuskan untuk mencarimu. Saya tertarik kepada kamu,” dengan bahasa Indonesianya yang terpatah-patah.
“Oh ya,?” dengan ekspresi yang sedikit datar. Bule ini mungkin penasaran dengan perempuan Indonesia yang ditemuinya. Tapi kenapa mengajak menikah segala. Dengan orang yang tidak dikenal. Apalagi bule ini cukup urakan. Arini menaksir usianya mungkin sudah tiga puluhan lebih. Tapi pakaiannya bergaya sedikit anak-anak. Celana jeans robek plus kaos ketat. Dibalut jaket jeans yang sepertinya brand terkenal tapi agak kusam karena kurang terawat.
“Saya pria tiga puluh enam tahun. Jadi apa saya terlihat seperti bercanda. I wanna marry you, Arini,” bule itu tak menunggu jawaban Arini yang sedikit bingung.
Memang betul itu bukan usia untuk mencoba berkencan romantis lagi, namun menjalin hubungan yang malahan harus serius. Tapi tentu saja Arini tak kenal siapa orang di depannya ini dan apa latar belakangnya. Apakah seorang yang benar-benar baik.
“I know, u don’t know me. And I understand. Saya seorang musisi. Senang menciptakan lagu. Ke Indonesia untuk jalan-jalan,” ujarnya dengan logat Perancis yang kental. Sepertinya ia dapat menebak isi hati Arini.
“Kamu tak harus jawab sekarang. Tapi saya serius. Permisa Miss Arini,” ujar Patrick lagi seraya menutup pintu.
Sambil terdiam. Arini mengunci pintu ruang kantornya. Aneh saja menurutnya. Pria ini sedikit nekat. Akh tapi kenapa mengajak menikah segala. Pertanyaan itu menyusup dan menancap di dalam benak Arini.
Seperti biasanya sepulang kantor Arini membawa beberapa barang berupa buku dan entah apa lagi dari ruang kantornya. Sambil berjalan keluar kantor ia memastikan letak kunci mobilnya.
“Ini saat yang tepat bukan?” Patrick mengambil tumpukan buku-buku yang dibawa Arini yang memang terlihat keberatan memegangi buku-buku yang cukup banyak itu. Tamu hotel di kamar 394 itu tampak mencoba menawarkan bantuannya.
“Ya, anda datang pada saat yang tepat. Saya akan ambilkan mantel anda.Masih saya simpan di dalam mobil ujar Arini.
“Terima Kasih Arini. Bagaimana kalau kita makan sate ayam. Udaranya cukup dingin. Pasti sangat menyenangkan,” Patrick mencoba mengajak Arini makan malam.
“Okey, tapi kamu yang menyetir,” Arini mengulurkan kunci mobilnya.
“Baiklah akan saya coba. Karena saya belum terbiasa dengan setir kanan,” ujarnya.
Patrick cukup sopan. Tak sesemrawut penampilannya yang lebih cendrung urakan itu. Sate ayam adalah makanan Indonesia favoritnya. Sudah 3 bulan ia belajar bahasa Indonesia. Terbilang bagus walau masih terpatah-patah. Jika dia sudah bingung ia akan bercakap dalam bahasa Inggris dengan logat ala Perancisnya yang agak sengau.
“Arini saya sangat menyukaimu. Saya tidak peduli siapa kamu. Apakah kamu pernah menikah itu bukan menjadi soal bagiku. Yang kutahu kamu adalah wanita yang sangat baik. Aku yakin kamu bisa menjadi pendampingmu sampai akhir hidup,” ujar Patrick seraya keluar dari Sate Ayam Mas Retno.
Arini tak menjawab apa-apa. Serasa ini sebuah imajinasi. Bertemu pria asing yang bahkan tak ia kenal sama sekali. Namun Patrick cukup gentleman. Bisa menerima Arini sebagaimana adanya. Ia tertegun, merasa tersanjung layaknya seorang wanita namun ia juga bingung.
“Sekarang musim hujan. Berlindunglah dengan jaket ini,” Patrick kembali mengulurkan jaket berwarna coklat itu ke atas kepala Arini yang lebih pendek sekitar tigapuluh centimeter dari dirinya itu. Ia sendiri membiarkan kepalanya kebasahan rintik hujan.
Parkiran itu masih di seberang jalan. Maklumlah sate ayam cukup rame peminatnya meskipun hanya sate kaki lima.
Arini masih menyimpang lebih dari seribu pertanyaan. Tapi ia sangat sadar sekali. “Tuhan inikah rencanamu selanjutnya. Apakah kau datangkan rembulan di antara bintik hujan,?” gumam Arini dalam hati.

Yoan Fa
Penghujung Mei 2012,
Apapun cerita hidup kita bukanlah suatu alasan buat bersedih

Tidak ada komentar:

Posting Komentar