ilustrasi |
Rembulan di antara bintik hujan
Menjalani
hidup apa adanya. Setidaknya inilah yang menjadi tujuan Arini sekarang. Pergi
ngantor, menyiram tanaman di sore hari dan berbelanja. Tak ada yang istimewa
namun semuanya harus menjadi istimewa agar kehidupan ini tidak selalu murung.
Sehingga ia bisa melewati waktu sendirian lima tahun belakangan ini.
Semua
tentu tak akan menyangka perceraian Arini. Dua tahun berumah tangga ternyata
cukup sudah bagi Arini. Tanpa ragu ia
melayangkan gugatan cerainya ke pengadilan agama di kota ini. Singkat kata
dalam tiga kali persidangan semua telah sah menjadi sebuah perceraian yang syah
dan terdaftar di negara.
Arini
dan Jon dianggap pasangan sempurna. Mereka terlihat kerap menyiram bunga di
sore hari. Atau pergi weekend ke taman, makan di restoran atau pergi massage
berdua. Pasangan ini amat romantis.
Lalu
apa yang kurang lagi bagi Arini sehingga ia begitu mantap mengajukan gugatan?
Hanya ia yang tahu pasti. Semua menyesalkan hal itu. Namun inilah pilihan yang
tak akan disesali Arini.
Setahun
pertama pernikahan memang terasa manis baginya. Sifat Jon yang pengertian
membuat Arini semakin menyanjung suaminya. Lalu di tahun berikutnya mulailah
muncul sifat asli Jon. Suka kasar dan main tangan kerap ia lakukan. Kecemburuan
yang berlebihan pun sering menjadi alasan sebuah pertengkaran di rumah tangga
mereka.
Arini
adalah seorang Public Relation (PR) di
sebuah hotel yang cukup ternama. Sehari-hari ia bergaul dengan para karyawan
maupun tamu hotel yang mana sudah ia
kenal sebagian. Tak jarang pejabat-pejabat yang menjadi tamu hotel itu terlihat
akrab dengannya.
Inilah
yang menjadi alasan bagi Jon untuk mensahkan perbuatannya memukul, menampar
ataupun main kaki kepada istrinya. Memang setahun lebih kurang sejak menikah ,
Arini naik jabatan dari staf menjadi PR di hotel itu. Sepertinya Jon tak siap
punya istri dengan jabatan yang cukup lumayan itu.
Tak
jarang Jon menuduh Arini berbuat mesum dengan para pejabat –pejabat yang ada di
hotel. Kecurigaannya sangat berlebihan. Padahal itu hanya acara formal makan
siang saja. Itupun beramai-ramai di restoran hotel. Atau sesama karyawan hotel
saja curiganya minta ampun. Pernah Jon menuduh Arini berselingkuh dengan salah
satunya karena mereka cukup dekat. Yakni dengan Budi. Padahal Budi sendiri adalah
pria beristri. Arini pun sudah kenal cukup lama dengan Budi, semenjak sekolah
dulu. Jadi wajar mereka tidak kaku lagi.
Mendengar
bisik-bisik di kantor soal perceraiannya Arini hanya bisa tersenyum. Walaupun
itu sangat getir. Hanya ia yang mungkin
tahu soal perilaku kasar Jon. Dihadapan rekan-rekannya, Jon selalu terlihat
manis. Menjemput istrinya pulang kerja menjadikan orang tak menaruh curiga akan
biduk rumah tangga yang sudah tiris itu.
Mungkin
saja Arini tidak puas dengan suami yang pekerjaannya lebih rendah. Atau mungkin
saja Arini mandul. Sudah dua tahun kawin kok nggak punya anak. Menyakitkan dan
amat pedas dirasakan oleh telinga yang mendengarnya. Namun Arini mencoba untuk
tidak terpancing emosi dengan semuanya.
Jangan
takut menikah lagi. Gagal menikah bukan tak laku. Malahan itu menjadi pelajaran
berharga buat kita dalam mengenali seorang pria. Setidaknya suara-suara yang
seperti ini menjadi penyejuk hatinya kala masih trauma dengan perceraiannya.
Perceraian
itu memang menyisakan luka. Orang-orang mencapnya sebagai orang yang gagal.
Parahnya lagi predikat janda membuatnya kerap dicap sebagai wanita kesepian dan
gatal sama lelaki. Terserah apapun kata orang. Yang penting Arini bukan wanita
seperti itu.
Hatinya
ibarat sudah kering bak padang pasir soal lelaki. Hambar dan tak ada rasa lagi.
Padahal orang tuanya sudah menyarankan ia untuk menikah lagi. Namun rasa-rasa
bekas tamparan ataupun pukulan itu masih terngiang-ngiang di benaknya. Takut .
Bukan
berarti pula ia tak akan menikah lagi seumur hidup. Hidup mesti berlanjut.
Walaupun belum ada yang kena di hatinya lagi. Tak berarti pula tak ada pria
yang datang kepadanya. Arini yang terbilang cantik berwajah khas Indonesia dan
kulit sawo matang. Terlebih lagi sebagai PR di hotel tentunya penampilan harus menarik.
Entah
berapa laki-laki yang datang padanya. Ada yang lajang. Bahkan seorang pria
beristri pun datang kepadanya mengajukan diri untuk menjadi suaminya. Tanpa
ragu.
“Terima
kasih Pak Sarwo, anda sudah meluangkan waktu untuk bertemu saya. Namun saya
minta maaf saya tidak bisa menerima lamaran bapak. Saya fikir saya tidak bisa
menjadi istri ketiga bapak,” ujar Arini pada Sarwo yang sangat percaya diri
itu. Sarwo adalah seorang pejabat pemerintah. Kalau tidak salah dia sudah
beristri dua. Namun kabar-kabarnya lagi ia juga memiliki simpanan di salah satu
apartemennya. Entah istrinya atau bukan , Arini tidak ingin tahu lebih banyak
tentang pria yang umurnya sudah lebih setengah abad itu.
Arini
masih lebih bahagia dengan kesendiriannya. Tanpa pukulan, tamparan dan makian.
Itu sudah menjadi kebahagiaan yang tak ternilai harganya. Meskipun harus
menjanda. Toh, lama-lama gosip miring di kantor pun reda. Tak terbukti ia
wanita kesepian yang bahkan bisa merebut suami orang.
Sebagai
wanita karir ia melakukan segala sesuatunya sendiri. Tak tergantung orang lain.
Dengan hasil keringatnya sendiri, sudah dua tahun pula ia memiliki sebuah mobil
pribadi. Meskipun mobil bekas setidaknya bisa membantunya untuk pulang-pergi ke
kantor lebih nyaman. Menghindari resiko berdesakan di bus ataupun kecopetan
yang marak.
Hari
ini Arini naik bus ke kantornya. Tidak biasanya. Mobil sedang diperbaiki di
bengkel dan memakan waktu sekitar tiga hari. Jadi mau tak mau ia mesti naik
bus. Berdesakan dengan sesama penumpang. Ia tak keberatan, toh dulunya setiap
hari juga seperti itu.
Waktu
menunjukkan pukul Sembilan malam. Pulang kantor agak telat. Maklum lagi banyak
pekerjaan. Apalagi besok ada konfrensi pers. Jadi segala sesuatunya harus clear
agar tidak mengecewakan tamu.
Bus
kota pun mulai jarang. Sudah lima belas menit. Belum ada yang lewat. Jalanan
sepi. Ditambah rinai hujan sejak magrib membuat orang semakin malas untuk
berlalu lalang. Lebih senang mengurung diri di rumah.
Bertambah
lama hujan itu bertambah deras. Belum juga ada bus yang lewat. Haltepun mulai
basah oleh tempias air hujan yang menerpa bersama angin yang semakin kencang.
Dari jauh terlihat sebuah bus yang melaju pelan. Mudah-mudahan ia mau berhenti.
Ternyata
benar. Bus itupun berhenti di depan halte. Meski harus berbasah-basahan Arini
mulai melangkahkan kaki. Daripada pulang kemalaman mending basah kuyup saja.
Toh sesampai di rumah bisa ganti baju lagi.
Hujan
itu tak menerpa ke kepalanya. Dilindungi sebuah tudung. Arini tersentak kaget.
Ada seorang pria menawarkan jasa baik. Mantelnya cukup melindungi Arini dan
pria itu agar kepala mereka tidak kebasahan saat menju pintu bus. Keadaan
sedikit memaksanya untuk menerima jasa baik pria yang sedikit urakan itu untuk
ukuran umurnya. Seperti sepasang kekasih yang kehujanan.
“Terima
kasih,” ujar Arini setelah sampai di dalam bus. Ia tak mau duduk terlalu dekat
dengan pria itu. Hanya sekadar waspada dan hati-hati. Pria itu pun mengangguk.
Setelah
tiga lampu merah di persimpangan itu pria tadi menyuruh sang kernet berhenti.
Arini sedikit lega karena ia lebih duluan berhenti. Jadi mudah-mudahan dia
bukan orang jahat.
Tetapi
pria itu malah mendekat padanya. Sembari memberikan mantel berwarna coklat
miliknya tadi. “Ini bawalah untuk mu. Kamu kedinginan nanti bisa sakit,” katanya
seraya berlalu pergi. Arini bisa melihat wajahnya dengan jelas. Sembari kaget
yang dapat ia sembunyikan.
Pria
tadi ternyata berambut pirang, dan matanya hijau. Bisa dipastikan ia orang
asing. Namun bahasa Indonesianya cukup bagus terdengar. Ah, ini mungkin
kebetulan saja ada orang yang berbaik hati padaku.
Sepulang
kerja besoknya Arini kembali ke halte bus itu pada pukul 9 malam lagi. Tapi ia
tidak menunggu bus. Di baik kaca mobil ia mengintip siapa tahu pria asing
kemarin menunggu bus lagi. Tapi ternyata tidak ada pria dengan tubuh tinggi
berkulit putih itu di sana.
Arini
mencoba merogoh saku jaket yang cukup panjang itu. Siapa tahu ada nomor telpon
atau alamat dimana orang itu tinggal. Ternyata hasilnya nihil. Ia hanya
menemukan sebuah kertas lirik lagu dalam bahasa asing. Sepertinya bahasa
Perancis. Mungkin saja ia orang Perancis. Tapi tidak tahulah.
Sudah
sebulan berlalu. Namun Arini tak pernah melihat pria asing yang urakan itu
lagi. Mungkin saja dia sudah pulang kampung. Hanya turis yang kebetulan berbaik
hati.
“Memangnya
ada masalah apa, sampai dia ingin menemui PR hotel? Lagian apa hubungannya.
Bukankah sudah ada Budi? ,” ujar Arini kepada salah seorang stafnya.
“Maaf
bu, kami juga merasa tidak ada pelayanan yang salah. Namun tamu kita mengatakan
ingin komplain,” ujar sang pegawai.
Biasa
memang ada tamu yang banyak permintaan seperti itu. Tapi kenapa ia sampai harus
turun tangan. Budi pun menggeleng ketika ia tanya.
“Tamu
ini sudah tiga hari menginap. Permintaannya pun aneh-aneh. Sampai mengantarkan
makanan pun mesti Pak Budi , Buk Arini,” tambah pegawai hotel tadi.
“Ya
sudah, saya akan coba temui. Apa maunya tamu ini,” ujar Arini. Budi dan pegawai
perempuan itu pun mengangguk.
“Semoga
beruntung,” ujar Budi sambil tersenyum. Aneh. Teman lagi susah kok ngeledekin
gitu. Bukannya membantu. Arini sedikit keki dengan tingkah teman sekolahnya
itu.
Tamu
hotel itupun mengetuk pintu ruangan Arini.
“Silakan
masuk Pak,” ujar Arini berusaha tersenyum sambil bicara seramah mungkin.
Tamu
itu pun membuka daun pintu dan senyum kepada sang PR hotel itu.
Arini
sedikit kaget sambil meneruskan senyumnya.
“Oh
iya, silakan duduk,” sapa Arini.
“Maaf,
apakah anda bisa berbahasa Indonesia,? “ tanya Arini lagi.
“Ya,
tentu saja,”
“Jaket
anda masih saya simpan. Saya ingin mengembalikannya tapi tak pernah bertemu
anda lagi di halte bus,” sebut Arini yang menebak-nebak apa yang akan dilakukan
pria bertindik itu.
“Terima
kasih, “ ujarnya senyum memamerkan gingsul yang membuat ia terlihat menarik di
mata perempuan.
“Saya
Patrick,” ujarnya seraya mengulurkan tangannya.
“Arini,”
ucap Arini membalasnya.
“Maaf
Mr.Patrick, apa ada pelayanan hotel yang kurang berkenan,?” katanya mencoba
untuk tidak tergoda pria bule yang tampaknya sedikit mencoba merayu itu.
“Tentu
tidak . Malah pelayanannya sangat baik. Saya senang dengan Pak Badi, dia teman
yang baik,” Patrick sepertinya agak susah mengeja nama Budi.
Ternyata
Budi sudah bersekongkol dengan pria ini.
“Badi
bercerita banyak kepada saya,” jelas Patrick.
Tanpa
ragu lagi Patrick mengeluarkan sebuah cincin dari saku jaket jeans yang sedikit
kusam itu. Arini mengerti apa maksudnya sekarang.
“Jadi,
anda menguntit saya,?”
“Ya
, “ katanya.
Arini
menjadi kaget. Bukan kepalang. Kali ini tak dapat ia sembunyikan lagi. Mukanya
memerah. Entah kaget atau menahan malu.
“Saya
tahu anda bekerja di hotel ini. Dari seragam yang kamu pakai ketika kita
berjumpa di halte bus. Maka saya putuskan untuk mencarimu. Saya tertarik kepada
kamu,” dengan bahasa Indonesianya yang terpatah-patah.
“Oh
ya,?” dengan ekspresi yang sedikit datar. Bule ini mungkin penasaran dengan
perempuan Indonesia yang ditemuinya. Tapi kenapa mengajak menikah segala.
Dengan orang yang tidak dikenal. Apalagi bule ini cukup urakan. Arini menaksir
usianya mungkin sudah tiga puluhan lebih. Tapi pakaiannya bergaya sedikit
anak-anak. Celana jeans robek plus kaos ketat. Dibalut jaket jeans yang
sepertinya brand terkenal tapi agak kusam karena kurang terawat.
“Saya
pria tiga puluh enam tahun. Jadi apa saya terlihat seperti bercanda. I wanna
marry you, Arini,” bule itu tak menunggu jawaban Arini yang sedikit bingung.
Memang
betul itu bukan usia untuk mencoba berkencan romantis lagi, namun menjalin
hubungan yang malahan harus serius. Tapi tentu saja Arini tak kenal siapa orang
di depannya ini dan apa latar belakangnya. Apakah seorang yang benar-benar
baik.
“I
know, u don’t know me. And I understand. Saya seorang musisi. Senang
menciptakan lagu. Ke Indonesia untuk jalan-jalan,” ujarnya dengan logat
Perancis yang kental. Sepertinya ia dapat menebak isi hati Arini.
“Kamu
tak harus jawab sekarang. Tapi saya serius. Permisa Miss Arini,” ujar Patrick
lagi seraya menutup pintu.
Sambil
terdiam. Arini mengunci pintu ruang kantornya. Aneh saja menurutnya. Pria ini
sedikit nekat. Akh tapi kenapa mengajak menikah segala. Pertanyaan itu menyusup
dan menancap di dalam benak Arini.
Seperti
biasanya sepulang kantor Arini membawa beberapa barang berupa buku dan entah
apa lagi dari ruang kantornya. Sambil berjalan keluar kantor ia memastikan
letak kunci mobilnya.
“Ini
saat yang tepat bukan?” Patrick mengambil tumpukan buku-buku yang dibawa Arini
yang memang terlihat keberatan memegangi buku-buku yang cukup banyak itu. Tamu
hotel di kamar 394 itu tampak mencoba menawarkan bantuannya.
“Ya,
anda datang pada saat yang tepat. Saya akan ambilkan mantel anda.Masih saya
simpan di dalam mobil ujar Arini.
“Terima
Kasih Arini. Bagaimana kalau kita makan sate ayam. Udaranya cukup dingin. Pasti
sangat menyenangkan,” Patrick mencoba mengajak Arini makan malam.
“Okey,
tapi kamu yang menyetir,” Arini mengulurkan kunci mobilnya.
“Baiklah
akan saya coba. Karena saya belum terbiasa dengan setir kanan,” ujarnya.
Patrick
cukup sopan. Tak sesemrawut penampilannya yang lebih cendrung urakan itu. Sate
ayam adalah makanan Indonesia favoritnya. Sudah 3 bulan ia belajar bahasa
Indonesia. Terbilang bagus walau masih terpatah-patah. Jika dia sudah bingung
ia akan bercakap dalam bahasa Inggris dengan logat ala Perancisnya yang agak
sengau.
“Arini
saya sangat menyukaimu. Saya tidak peduli siapa kamu. Apakah kamu pernah
menikah itu bukan menjadi soal bagiku. Yang kutahu kamu adalah wanita yang
sangat baik. Aku yakin kamu bisa menjadi pendampingmu sampai akhir hidup,” ujar
Patrick seraya keluar dari Sate Ayam Mas Retno.
Arini
tak menjawab apa-apa. Serasa ini sebuah imajinasi. Bertemu pria asing yang
bahkan tak ia kenal sama sekali. Namun Patrick cukup gentleman. Bisa menerima
Arini sebagaimana adanya. Ia tertegun, merasa tersanjung layaknya seorang
wanita namun ia juga bingung.
“Sekarang
musim hujan. Berlindunglah dengan jaket ini,” Patrick kembali mengulurkan jaket
berwarna coklat itu ke atas kepala Arini yang lebih pendek sekitar tigapuluh
centimeter dari dirinya itu. Ia sendiri membiarkan kepalanya kebasahan rintik
hujan.
Parkiran
itu masih di seberang jalan. Maklumlah sate ayam cukup rame peminatnya meskipun
hanya sate kaki lima.
Arini
masih menyimpang lebih dari seribu pertanyaan. Tapi ia sangat sadar sekali.
“Tuhan inikah rencanamu selanjutnya. Apakah kau datangkan rembulan di antara
bintik hujan,?” gumam Arini dalam hati.
Yoan Fa
Penghujung Mei
2012,
Apapun cerita hidup
kita bukanlah suatu alasan buat bersedih
Tidak ada komentar:
Posting Komentar