Merger
Usaha, Merger Cinta
ilustrasi |
Kepulan asap sudah terasa menyesakkan
pernapasan pagi itu. Kendaraan berlalu lalang dengan egois. Tak memedulikan
hidung-hidung manusia yang merasa terkontaminasi dengan hasil buangannya.
Termasuk aku yang saat itu sedang terburu-buru. Jarum pada jam tanganku belum
menunjukkan pukul tujuh. Namun ramainya jalanan ini sudah membuatku berkeringat.
Aku tak mau terlambat. Ini adalah hari pertamaku memulai kerja.
Memasuki
ruangan kerja. Tempatku bekerja bukanlah sebuah kantor yang besar ataupun
mewah. Sebuah usaha rumahan jika boleh kubilang. Tapi bukan murahan. Aku tahu
itu karena banyak sekali orang yang sudah percaya pada kredibilitas tempat
kerjaku. Sebuah percetakan yang melayani pembuatan poster, pamflet, brosur,
undangan, buletin, kartu nama, dan yang semacamnya. Tugasku adalah membuat
rancangan tentang desain yang akan dicetak. Ya, lebih tepatnya posisiku adalah
sebagai lay outer. Sekaligus asisten designer.
Sudah
ada tiga orderan yang kami terima. Dua pesanan untuk undangan pernikahan dan
sebuah permintaan brosur untuk acara jalan santai. Aku mulai menggarapnya
bersama partnerku, Rio. Dari caranya bekerja, aku tahu bahwa dia sangat mahir
dalam bidang ini. Sementara aku, dengan latar belakang mantan editor di sebuah
penerbitan, masih perlu penyesuaian untuk tugas baru ini.
Aku
sengaja mengundurkan diri dari kantorku yang lama lantaran usaha itu mendekati
titik gulung tikar. Bukan perusahaan yang besar. Sebuah penerbitan majalah
bulanan yang berisi budaya daerah. Banyak sudah teman-temanku yang mengundurkan
diri. Mereka tak mau bertahan dalam keadaan yang tak menentu itu. Daripada
mempertahankan sesuatu yang belum pasti, lebih baik segera mencari yang lain.
Begitulah pikiran beberapa temanku, termasuk aku. Namun, ada juga yang masih
bertahan. Mereka beralasan bahwa mencari kerja yang baru tidaklah mudah,
terlebih lagi masalah status pendidikan yang tidak terlalu tinggi. Jika mereka
keluar, maka tingkat kebingungan mereka akan menjadi dua kali lipat, tidak punya kerja alias
pengangguran dan tak berpenghasilan. Jadi, mereka kuat-kuatkan untuk bertahan
di sana dan berharap agar kantor itu tetap bisa beroperasi.
***
“Lin,
bagaimana menurutmu?” tanya Rio sambil menunjukkan sebuah desain padaku.
“Hmm...
bagus. Tapi mungkin bagian yang ini kurang pas deh, harus sedikit diperjelas,”
jawabku asal.
“Ya, baiklah. Coba kubenahi dulu.”
Sementara
itu aku sibuk dengan lay out pesanan brosur yang akan diambil 2 minggu
lagi. Cukup menguras tenagaku. Di hari pertama kerja aku sudah disibukkan
dengan setumpuk pekerjaan berbeda dengan tugas editor yang lebih berkutat pada
pemahaman teoritis. Memperbaiki susunan kalimat, kata, diksi, dan segala hal
yang berhubungan dengan EyD. Termasuk menyortir setiap tulisan yang masuk. Ya,
itulah duniaku dulu. Aku memang jurusan bahasa sewaktu di SMA, juga saat ini.
Saat ini, di sebuah perguruan tinggi di kotaku, Surabaya. Lebih tepatnya
jurusanku adalah pendidikan bahasa dan sastra Indonesia.
Jika
sebelumnya aktivitas kerjaku ditemani oleh seorang yang banyak omong, jail,
dan suka memotivasi (mungkin juga sok tau), kini aku berhadapan dengan
partner yang sebaliknya. Dia tidak suka terlalu banyak bicara, sedikit
bercanda, dan selalu bertindak profesional. Singkat kata, Rio adalah tipe talk
less do more.
Kerjaku
dimulai dari pukul 08.00 sampai 15.30. Ada sebanyak 20 pegawai di sana. Jumlah
segitu cukup banyak juga sebenarnya, mengingat betapa masih kecilnya kantor
yang dimiliki. Namun memang itulah adanya. Sebuah kantor kecil dengan produksi
yang cukup membanggakan. Tak perlu diragukan lagi akan kualitasnya. Segalanya
mulai dari ketepatan waktu, kerapihan, harga, dan proses pelayanan. “Terima
kasih, semuanya perfect.” Begitulah salah satu komentar pelanggan yang
pernah kudengar langsung.
***
Langit
hampir senja. Seharusnya sudah dua jam yang tadi aku sampai di rumah. Namun
tugas kerja kelompokku yang harus dikumpulkan besok butuh penyelesaian
secepatnya. Deadline. Satu kata yang selalu menjadi musuh bebuyutanku.
Bahkan sampai saat ini. Dari aku sekolah dasar sampai di bangku kuliah ini, dia
selalu menggangguku. Pun tak lupa saat aku bekerja. Ah, tapi sepertinya aku dan
dia sudah ditakdirkan untuk bersama. Mungkin kami berjodoh. Eh, kok malah ngelantur
:D
Adzan
Maghrib yang berkumandang membukakan pintu padaku untuk masuk. Cepat-cepat aku
bergegas ke kamar, meletakkan tasku dan bersegera menuju kamar mandi. Tak
kupedulikan rasa lelahku. Aku lebih peduli pada keringat-keringat yang semakin
deras mengalir. Ya, kotaku memang panas. Debu-debu dan kepulan asap dari
pabrik-pabrik dan kendaraan bermotor bisa dengan mudah kautemui di segala
penjuru wilayah. Dan, coba saja hitung berapa banyak pohon di tepi jalanan yang
masih hijau. Kasihan mereka, menelan sisa-sisa pembakaran yang mengganggu
pernapasannya.
Malam.
Aku ingin beristirahat. Waktuku seharian sudah penuh dengan kegiatan yang
menghabiskan kalori. Tapi mataku ditarik oleh sederet daftar panjang. Masih
banyak yang harus kukerjakan. Ini deadline. Aku membencinya. Tapi karena dia pula aku hidup.
Ah, galau jadinya.
Aku
harus memastikan nama-nama yang akan dicantumkan pada undangan sebanyak 1.500
itu. Tak boleh ada kesalahan sedikitpun. Jika itu terjadi, maka biaya yang
dikeluarkan akan bertambah karena kesalahan yang menyebabkan jumlahnya
berkurang. Yah, inilah sebenarnya tugas seorang editor. Satu huruf pun
berharga. Termasuk satu tanda. Ah, begitu selektif. Butuh ketelitian tingkat
tinggi.
Pukul
23.30 mataku tinggal setengah watt. Tak bisa lagi kutahan. Kurapikan
kertas-kertasku. Langsung terjun ke tempat tidur, memeluk guling. Berharap esok
pagi aku tidak bangun kesiangan.
***
Sebenarnya
ada alasan lain yang membuatku berat meninggalkan kantor lamaku. Bukan teman.
Bukan sahabat. Seseorang yang kuanggap lebih dari sahabat. Partner sejati jika
boleh kubilang. Namanya Randi. Editor, sama sepertiku. Tapi terkadang dia juga
merangkap sebagai reporter. Dan kini ia masih bertahan di sana. Katanya, dia
sudah terlanjur cinta dengan kantor itu.
Aku
mengagumi sosoknya yang energik. Setiap tugas diselesaikannya dengan sempurna.
Tak pernah kulihat wajahnya muram. Terlebih jika tak ada kejadian yang bisa
diliput, tak ada tema yang bisa diangkat, tak ada isu tentang kebijakan baru,
tak ada desas-desus yang perlu digali kebenarannya, dan.... sepi. Berita
kosong. Namun gurat wajahnya masih menggambarkan optimisme. Senyumnya bukanlah
senyum kecut sepertiku. Ah, aku rindu padanya. Rindu pada kata-kata yang selalu
memotivasi kerjaku.
Saat
aku pindah ke sini –tempat kerja yang baru– dia juga kuajak. Namun
ditolaknya. Dia tidak mencegahku untuk
keluar, juga tidak mengejek keputusanku. Penilaiannya selalu positif. Netral.
Itu memang cara menilai yang baik, namun terkadang juga tidak baik. Seperti
halnya dalam menghadapi sebuah penolakan kenaikan harga BBM misalnya. Aku heran,
dia bukan pejabat, bukan menteri, bukan keturunan anggota dewan maupun
politikus, dan tidak ada hubungan sedikitpun dengan para pembesar pemilik
perusahaan, namun dia tidak ada inisiatif sedikitpun untuk ikut menyatakan
penolakan terhadap masalah yang kini hampir selalu menjadi headline di
seluruh media massa.
“Aku
tak mau memihak manapun. Aku kasihan pada rakyat, memang. Tapi aku juga tak mau
menambah kerancuan di ‘benak’ pemerintah. Sudah banyak orang yang menuntutnya dengan
segudang cacian, hinaan, dan segala macam celaan. Mungkin aku akan menunjukkan
wujud kepedulianku terhadap ‘masyarakat miskin’ dengan caraku tersendiri,” katanya
dengan teguh.
“Hei,
kau sadar dengan apa yang kau katakan barusan? Baru kali ini kutemui orang
sepertimu. Janganlah mengambang seperti air di atas daun talas, hidup ini butuh
pilihan, Bang. Apa kau tega membiarkan mereka terus hidup di garis kemiskinan?
Isu rencana kenaikan saja sudah membuat mereka kembang kempis. Harga
barang-barang melambung dan tangan mereka tak mampu menjangkau lantaran kantong
yang longgar. Kurang sengsara bagaimana lagi, harus menderita macam apa lagi?”
kuserbu ia dengan pertanyaan borongan. “Ah, jangan-jangan kau mendukung rencana
itu ya. Payah kau!” kuakhiri khotbahku dengan sedikit rasa kesal. Aku
memalingkan muka.
Ah,
kenapa aku jadi benar-benar merindukannya, ya.
***
Tiga
bulan sudah aku menetap di tempat ini. Dan selama itu pula hari demi hari
kulalui tanpa Randi. Sepi rasanya. Padahal hampir setiap minggu kami bertemu.
Namun rasanya tetap saja beda, tidak ada orang yang menyemangatiku sekuat
bagaimana ia meniupkan kata-kata itu. Ah, apakah ini yang dinamakan cinta? Yang
merindukan seseorang yang dikasihi setiap saat. “Aaahhh,... stop! Ini waktu
untuk bekerja, bukan berkhayal,” kataku dalam hati.
Samar-samar
kudengar sebuah kabar burung. Bukan isu politik, pergeseran presiden, maupun
kasus korupsi yang tak kunjung tuntas, pun juga bukan tentang rencana pembatalan kenaikan harga
BBM. Tapi ini tentang nasib kantorku. Ada apa lagi dengan tempat kerjaku ini?
Apakah akan mengalami kebangkrutan seperti yang hampir terjadi pada tempat kerjaku
sebelumnya? Atau pimpinan akan digantikan oleh orang yang kejam? Atau apa? Berbagai
pertanyaan muncul seketika di benakku. Aku penasaran.
“Bener
ya, kantor kita mau dipindahkan?”celetuk seorang pegawai.
“Iya,
mungkin, dipindahkan ke tempat yang lebih gede,” jawab yang pegawai lain
sambil tertawa.
“Wah,
kabar yang bagus itu!”
***
“Mulai
bulan depan, kantor kita akan dipindahkan. Dan kita akan bergabung dengan PENITI
Press.” kata Pak Yahya membuka pidatonya. Selebihnya aku tidak
memperhatikan lagi apa yang diucapkannya. Pikiranku sudah membayangkan betapa
indahnya kembali bersama teman-teman kerjakuku seperti dulu. Pun dengan partner
sejatiku. Ah, aku tak sabar menanti saat-saat itu. Upss, lagi-lagi aku ngelantur.
Dan
benar saja, genap 30 hari setelah itu, kami semua berimigrasi ke kantor kami
yang baru. Luas, indah, dan elegant. Sepertinya sifat yang terakhir itu
sedikit hiperbolis. Namun, yang paling penting bagiku bukanlah bagaimana
bagusnya tempat kerja. Sebagus apapun gedungnya, semegah apapun bangunannya,
aku akan merasa tersiksa jika tidak ada udara motivasi. Jadi, aku sangat
bahagia bisa kembali berkumpul bersama teman-teman yang sejak awal sudah
kuanggap seperti keluargaku sendiri. Waktu dua tahun telah mengubah banyak hal
dalam hidupku.
Ya,
setahun setelah itu usaha kami semakin memiliki nama. Penerbitan majalah selalu
tepat waktu, dengan tema yang sudah diperluas. Sedangkan percetakan juga tak
perlu diragukan lagi kualitasnya. Hampir semua pelanggan baru yang datang
kepada kami menyatakan bahwa mereka mendengar komentar yang menarik dari para member
yang lama.
“Jadi
seperti apa kerjamu saat tidak ada aku?” kata Randi mencandaiku.
“Biasa
saja, malah aku lebih bersemangat karena tidak harus berdebat dengan orang
lain.” jawabku sekenanya.
“Oya?
Wah, sepertinya aku harus beralih pekerjaan ke tempat yang lain.”
“Loh,
kenapa??” tanyaku heran.
“Iya,
karena aku tak mau merusak konsentrasimu. Haha.”
“Hahahaa...”
Dan
kami tertawa lepas. Memandangi langit senja sore itu. Menguning tua, jingga. Siap digantikan posisinya oleh sekawanan
bintang. Ah, indahnya. Seperti bulan depan sebagaimana aku dan “partner sejati”-ku
itu akan bersama di bawah hiasan kuning. Ya, cinta kami pun akan kami merger
sebagaimana dua usaha ini telah ter-merger. Sebuah hal yang akan selalu
mengikat kami, selamanya.
Dan kami mengakhiri perbincangan sore itu. Dari
kantor sederhana di penerbitan dan percetakan ini, aku berjumpa dengan penakluk
hatiku...
Sby,
24-25 Maret 2012
-----------------------------
Anis Ekowati,
lahir di Kediri, 31 Mei 1992. Anak terakhir dari dua bersaudara -meskipun
namanya mengandung kata eko (satu). Mulai tahun 2011 tercatat sebagai
mahasiswi di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Airlangga, Surabaya.
menarik ceritanya mbak anis :D
BalasHapusthanks mbak AnfaitUazizah^_^....
Hapussudah saya bilang, itu ngasal :D
masih banyak yang kurang itu,,
belum perfect. Karakter tokohnya juga kurang kuat.
bagus ceritanya,bahasanya sederhana dan mudah dipahami....
BalasHapus