Rabu, 28 Maret 2012

Cerpen Karya Anis Ekowati (Sahabat SatuMataPena)


Merger Usaha, Merger Cinta


ilustrasi
Kepulan asap sudah terasa menyesakkan pernapasan pagi itu. Kendaraan berlalu lalang dengan egois. Tak memedulikan hidung-hidung manusia yang merasa terkontaminasi dengan hasil buangannya. Termasuk aku yang saat itu sedang terburu-buru. Jarum pada jam tanganku belum menunjukkan pukul tujuh. Namun ramainya jalanan ini sudah membuatku berkeringat. Aku tak mau terlambat. Ini adalah hari pertamaku memulai kerja.
            Memasuki ruangan kerja. Tempatku bekerja bukanlah sebuah kantor yang besar ataupun mewah. Sebuah usaha rumahan jika boleh kubilang. Tapi bukan murahan. Aku tahu itu karena banyak sekali orang yang sudah percaya pada kredibilitas tempat kerjaku. Sebuah percetakan yang melayani pembuatan poster, pamflet, brosur, undangan, buletin, kartu nama, dan yang semacamnya. Tugasku adalah membuat rancangan tentang desain yang akan dicetak. Ya, lebih tepatnya posisiku adalah sebagai lay outer. Sekaligus asisten designer.
            Sudah ada tiga orderan yang kami terima. Dua pesanan untuk undangan pernikahan dan sebuah permintaan brosur untuk acara jalan santai. Aku mulai menggarapnya bersama partnerku, Rio. Dari caranya bekerja, aku tahu bahwa dia sangat mahir dalam bidang ini. Sementara aku, dengan latar belakang mantan editor di sebuah penerbitan, masih perlu penyesuaian untuk tugas baru ini.
            Aku sengaja mengundurkan diri dari kantorku yang lama lantaran usaha itu mendekati titik gulung tikar. Bukan perusahaan yang besar. Sebuah penerbitan majalah bulanan yang berisi budaya daerah. Banyak sudah teman-temanku yang mengundurkan diri. Mereka tak mau bertahan dalam keadaan yang tak menentu itu. Daripada mempertahankan sesuatu yang belum pasti, lebih baik segera mencari yang lain. Begitulah pikiran beberapa temanku, termasuk aku. Namun, ada juga yang masih bertahan. Mereka beralasan bahwa mencari kerja yang baru tidaklah mudah, terlebih lagi masalah status pendidikan yang tidak terlalu tinggi. Jika mereka keluar, maka tingkat kebingungan mereka akan menjadi dua kali lipat, tidak punya kerja alias pengangguran dan tak berpenghasilan. Jadi, mereka kuat-kuatkan untuk bertahan di sana dan berharap agar kantor itu tetap bisa beroperasi.
***
            “Lin, bagaimana menurutmu?” tanya Rio sambil menunjukkan sebuah desain padaku.
            “Hmm... bagus. Tapi mungkin bagian yang ini kurang pas deh, harus sedikit diperjelas,” jawabku asal.
            “Ya, baiklah. Coba kubenahi dulu.”
            Sementara itu aku sibuk dengan lay out pesanan brosur yang akan diambil 2 minggu lagi. Cukup menguras tenagaku. Di hari pertama kerja aku sudah disibukkan dengan setumpuk pekerjaan berbeda dengan tugas editor yang lebih berkutat pada pemahaman teoritis. Memperbaiki susunan kalimat, kata, diksi, dan segala hal yang berhubungan dengan EyD. Termasuk menyortir setiap tulisan yang masuk. Ya, itulah duniaku dulu. Aku memang jurusan bahasa sewaktu di SMA, juga saat ini. Saat ini, di sebuah perguruan tinggi di kotaku, Surabaya. Lebih tepatnya jurusanku adalah pendidikan bahasa dan sastra Indonesia.
            Jika sebelumnya aktivitas kerjaku ditemani oleh seorang yang banyak omong, jail, dan suka memotivasi (mungkin juga sok tau), kini aku berhadapan dengan partner yang sebaliknya. Dia tidak suka terlalu banyak bicara, sedikit bercanda, dan selalu bertindak profesional. Singkat kata, Rio adalah tipe talk less do more.
            Kerjaku dimulai dari pukul 08.00 sampai 15.30. Ada sebanyak 20 pegawai di sana. Jumlah segitu cukup banyak juga sebenarnya, mengingat betapa masih kecilnya kantor yang dimiliki. Namun memang itulah adanya. Sebuah kantor kecil dengan produksi yang cukup membanggakan. Tak perlu diragukan lagi akan kualitasnya. Segalanya mulai dari ketepatan waktu, kerapihan, harga, dan proses pelayanan. “Terima kasih, semuanya perfect.” Begitulah salah satu komentar pelanggan yang pernah kudengar langsung.
***
            Langit hampir senja. Seharusnya sudah dua jam yang tadi aku sampai di rumah. Namun tugas kerja kelompokku yang harus dikumpulkan besok butuh penyelesaian secepatnya. Deadline. Satu kata yang selalu menjadi musuh bebuyutanku. Bahkan sampai saat ini. Dari aku sekolah dasar sampai di bangku kuliah ini, dia selalu menggangguku. Pun tak lupa saat aku bekerja. Ah, tapi sepertinya aku dan dia sudah ditakdirkan untuk bersama. Mungkin kami berjodoh. Eh, kok malah ngelantur :D
            Adzan Maghrib yang berkumandang membukakan pintu padaku untuk masuk. Cepat-cepat aku bergegas ke kamar, meletakkan tasku dan bersegera menuju kamar mandi. Tak kupedulikan rasa lelahku. Aku lebih peduli pada keringat-keringat yang semakin deras mengalir. Ya, kotaku memang panas. Debu-debu dan kepulan asap dari pabrik-pabrik dan kendaraan bermotor bisa dengan mudah kautemui di segala penjuru wilayah. Dan, coba saja hitung berapa banyak pohon di tepi jalanan yang masih hijau. Kasihan mereka, menelan sisa-sisa pembakaran yang mengganggu pernapasannya.
            Malam. Aku ingin beristirahat. Waktuku seharian sudah penuh dengan kegiatan yang menghabiskan kalori. Tapi mataku ditarik oleh sederet daftar panjang. Masih banyak yang harus kukerjakan. Ini deadline. Aku  membencinya. Tapi karena dia pula aku hidup. Ah, galau jadinya.
            Aku harus memastikan nama-nama yang akan dicantumkan pada undangan sebanyak 1.500 itu. Tak boleh ada kesalahan sedikitpun. Jika itu terjadi, maka biaya yang dikeluarkan akan bertambah karena kesalahan yang menyebabkan jumlahnya berkurang. Yah, inilah sebenarnya tugas seorang editor. Satu huruf pun berharga. Termasuk satu tanda. Ah, begitu selektif. Butuh ketelitian tingkat tinggi.
            Pukul 23.30 mataku tinggal setengah watt. Tak bisa lagi kutahan. Kurapikan kertas-kertasku. Langsung terjun ke tempat tidur, memeluk guling. Berharap esok pagi aku tidak bangun kesiangan.
***
            Sebenarnya ada alasan lain yang membuatku berat meninggalkan kantor lamaku. Bukan teman. Bukan sahabat. Seseorang yang kuanggap lebih dari sahabat. Partner sejati jika boleh kubilang. Namanya Randi. Editor, sama sepertiku. Tapi terkadang dia juga merangkap sebagai reporter. Dan kini ia masih bertahan di sana. Katanya, dia sudah terlanjur cinta dengan kantor itu.
            Aku mengagumi sosoknya yang energik. Setiap tugas diselesaikannya dengan sempurna. Tak pernah kulihat wajahnya muram. Terlebih jika tak ada kejadian yang bisa diliput, tak ada tema yang bisa diangkat, tak ada isu tentang kebijakan baru, tak ada desas-desus yang perlu digali kebenarannya, dan.... sepi. Berita kosong. Namun gurat wajahnya masih menggambarkan optimisme. Senyumnya bukanlah senyum kecut sepertiku. Ah, aku rindu padanya. Rindu pada kata-kata yang selalu memotivasi kerjaku.
            Saat aku pindah ke sini –tempat kerja yang baru– dia juga kuajak. Namun ditolaknya.  Dia tidak mencegahku untuk keluar, juga tidak mengejek keputusanku. Penilaiannya selalu positif. Netral. Itu memang cara menilai yang baik, namun terkadang juga tidak baik. Seperti halnya dalam menghadapi sebuah penolakan kenaikan harga BBM misalnya. Aku heran, dia bukan pejabat, bukan menteri, bukan keturunan anggota dewan maupun politikus, dan tidak ada hubungan sedikitpun dengan para pembesar pemilik perusahaan, namun dia tidak ada inisiatif sedikitpun untuk ikut menyatakan penolakan terhadap masalah yang kini hampir selalu menjadi headline di seluruh media massa.
            “Aku tak mau memihak manapun. Aku kasihan pada rakyat, memang. Tapi aku juga tak mau menambah kerancuan di benak pemerintah. Sudah banyak orang yang menuntutnya dengan segudang cacian, hinaan, dan segala macam celaan. Mungkin aku akan menunjukkan wujud kepedulianku terhadap masyarakat miskin dengan caraku tersendiri,” katanya dengan teguh.
            “Hei, kau sadar dengan apa yang kau katakan barusan? Baru kali ini kutemui orang sepertimu. Janganlah mengambang seperti air di atas daun talas, hidup ini butuh pilihan, Bang. Apa kau tega membiarkan mereka terus hidup di garis kemiskinan? Isu rencana kenaikan saja sudah membuat mereka kembang kempis. Harga barang-barang melambung dan tangan mereka tak mampu menjangkau lantaran kantong yang longgar. Kurang sengsara bagaimana lagi, harus menderita macam apa lagi?” kuserbu ia dengan pertanyaan borongan. “Ah, jangan-jangan kau mendukung rencana itu ya. Payah kau!” kuakhiri khotbahku dengan sedikit rasa kesal. Aku memalingkan muka.
            Ah, kenapa aku jadi benar-benar merindukannya, ya.
***
            Tiga bulan sudah aku menetap di tempat ini. Dan selama itu pula hari demi hari kulalui tanpa Randi. Sepi rasanya. Padahal hampir setiap minggu kami bertemu. Namun rasanya tetap saja beda, tidak ada orang yang menyemangatiku sekuat bagaimana ia meniupkan kata-kata itu. Ah, apakah ini yang dinamakan cinta? Yang merindukan seseorang yang dikasihi setiap saat. “Aaahhh,... stop! Ini waktu untuk bekerja, bukan berkhayal,” kataku dalam hati.
            Samar-samar kudengar sebuah kabar burung. Bukan isu politik, pergeseran presiden, maupun kasus korupsi yang tak kunjung tuntas, pun juga bukan tentang rencana pembatalan kenaikan harga BBM. Tapi ini tentang nasib kantorku. Ada apa lagi dengan tempat kerjaku ini? Apakah akan mengalami kebangkrutan seperti yang hampir terjadi pada tempat kerjaku sebelumnya? Atau pimpinan akan digantikan oleh orang yang kejam? Atau apa? Berbagai pertanyaan muncul seketika di benakku. Aku penasaran.
            “Bener ya, kantor kita mau dipindahkan?”celetuk seorang pegawai.
            “Iya, mungkin, dipindahkan ke tempat yang lebih gede,” jawab yang pegawai lain sambil tertawa.
            “Wah, kabar yang bagus itu!”
***
            “Mulai bulan depan, kantor kita akan dipindahkan. Dan kita akan bergabung dengan PENITI Press.” kata Pak Yahya membuka pidatonya. Selebihnya aku tidak memperhatikan lagi apa yang diucapkannya. Pikiranku sudah membayangkan betapa indahnya kembali bersama teman-teman kerjakuku seperti dulu. Pun dengan partner sejatiku. Ah, aku tak sabar menanti saat-saat itu. Upss, lagi-lagi aku ngelantur.
            Dan benar saja, genap 30 hari setelah itu, kami semua berimigrasi ke kantor kami yang baru. Luas, indah, dan elegant. Sepertinya sifat yang terakhir itu sedikit hiperbolis. Namun, yang paling penting bagiku bukanlah bagaimana bagusnya tempat kerja. Sebagus apapun gedungnya, semegah apapun bangunannya, aku akan merasa tersiksa jika tidak ada udara motivasi. Jadi, aku sangat bahagia bisa kembali berkumpul bersama teman-teman yang sejak awal sudah kuanggap seperti keluargaku sendiri. Waktu dua tahun telah mengubah banyak hal dalam hidupku.
            Ya, setahun setelah itu usaha kami semakin memiliki nama. Penerbitan majalah selalu tepat waktu, dengan tema yang sudah diperluas. Sedangkan percetakan juga tak perlu diragukan lagi kualitasnya. Hampir semua pelanggan baru yang datang kepada kami menyatakan bahwa mereka mendengar komentar yang menarik dari para member yang lama.
            “Jadi seperti apa kerjamu saat tidak ada aku?” kata Randi mencandaiku.
            “Biasa saja, malah aku lebih bersemangat karena tidak harus berdebat dengan orang lain.” jawabku sekenanya.
            “Oya? Wah, sepertinya aku harus beralih pekerjaan ke tempat yang lain.”
            “Loh, kenapa??” tanyaku heran.
            “Iya, karena aku tak mau merusak konsentrasimu. Haha.” 
            “Hahahaa...”
            Dan kami tertawa lepas. Memandangi langit senja sore itu. Menguning tua, jingga.  Siap digantikan posisinya oleh sekawanan bintang. Ah, indahnya. Seperti bulan depan sebagaimana aku dan “partner sejati”-ku itu akan bersama di bawah hiasan kuning. Ya, cinta kami pun akan kami merger sebagaimana dua usaha ini telah ter-merger. Sebuah hal yang akan selalu mengikat kami, selamanya.
 Dan kami mengakhiri perbincangan sore itu. Dari kantor sederhana di penerbitan dan percetakan ini, aku berjumpa dengan penakluk hatiku...

            Sby, 24-25 Maret 2012
          


 -----------------------------
Anis Ekowati, lahir di Kediri, 31 Mei 1992. Anak terakhir dari dua bersaudara -meskipun namanya mengandung kata eko (satu). Mulai tahun 2011 tercatat sebagai mahasiswi di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Airlangga, Surabaya.
 

           
           

3 komentar:

  1. Balasan
    1. thanks mbak AnfaitUazizah^_^....

      sudah saya bilang, itu ngasal :D

      masih banyak yang kurang itu,,
      belum perfect. Karakter tokohnya juga kurang kuat.

      Hapus
  2. bagus ceritanya,bahasanya sederhana dan mudah dipahami....

    BalasHapus