Kamis, 29 Maret 2012

Cerpen Karya Azizah Nur Fitriana (Sahabat SatuMataPena)


Gadis Belia Bahagia Sedunia

ilustrasi
Sudah seminggu ayah tak masuk kerja, tak biasa ayah seperti ini ayah yang aku kenal selama ini adalah ayah yang tak pernah sakit dan selalu menjadi ayah terhebat bagiku. Aku Sifa Nurdiana anak bungsu dari keluarga Pak Sanurdin dan Bu Dianawati. aku sedih bila melihat ayah sakit seperti ini, aku mahasiswa di salah satu Universitas Negeri Sumatera Utara.
Aku sangat bersyukur bisa merasakan pendidikan hingga sekarang telah menjadi mahasiswa. Bukan hal mudah untuk di terima dalam Universitas negeri, aku tergolong dari keluarga bersahaja tak memiliki mobil mewah, supir pribadi, apalagi pembantu. Yah, aku bangga lahir di keluarga yang bersahaja ini keluarga yang mendidikku dengan kasih sayang dan moral agama.
Di  suatu pagi aku bersiap-siap untuk kuliah, sebelum aku pergi biasanya ibu selalu menyiapkan bekal untuk sarapan dan makan siang di kampus, karena rumahku cukup jauh menuju kampus jadi tidak sempat sarapan di rumah. Ibu juga menyiapkan beberapa bungkus nasi goreng untukku jual di kampus, gak mahal-mahal kok cukup dengan dua ribu rupiah saja sudah bisa sarapan nasi goreng buatan ibu.
Ibu berpesan padaku  “jangan lupa sampai di kampus langsung sarapan ya nak, hari ini ibu bawakan sepuluh bungkus nasi goreng kalau tidak habis terjual semuanya Sifa makan sama teman-teman saja ya nak” . tapi bu, sedihlah kalau tidak habis, nanti ibu rugi lah” ucapku dengan bergetar. Tidak mengapa Sifa, jangan bersedih hati kalau tidak habis semuanya sayang, berarti belum rezeky kita” Ibu mencoba menenangkan hati Sifa”.
Dengan hati senang dan wajah ceria aku minta izin pergi kuliah tak lupa ku mencium punggung tangan ibu dan mencium wajah ibu. Sifa pergi ya bu, assalamualaikum. “wa’alaikumsalam, hati-hati ya Sifa belajar yang benar ya nak agar kelak Sifa menjadi anak yang dapat membahagiakan keluarga seperti keluarga kita”.   Di dalam hati ibuku berkata (ibu bangga dengan Sifa yang memilik semangat besar untuk keberhasilan, semoga engkau selalu dalam lindungan Allah nak). Ibu kok melamun? Sifa pergi ya bu. Iya Sifa.
 Lima menit keberangkatan Sifa, ibu Sifa menyiapkan sarapan untuk ayah yang terbaring lemah di dalam kamar.
“Sifa sudah pergi ya Bu?” Tanya ayah dengan suara serak
“iya pak , Sifa sudah pergi kuliah. Ini sarapannya sudah ibu siapkan.”
Ayah dan mamak Sifa pun sarapan dengan rasa syukur dan nikmatnya.
Di perjalanan menuju kampus.
Aku menunggu angkutan kota di depan gang, lama sekali angkotnya datang Sifa tak mau terlambat sampai kampus ya allah. Tak lama kemudian angkot dating ku setop angkot itu dan duduk di depan bersama supir karena di dalam sudah penuh penumpang lain.
aku harus turun di simpang tiga tempat biasa ia berganti angkot, karena dari rumahku tak ada angkot langsung menuju kampusnya jadi beginilah setiap harinya aku lakukan demi belajar ke kampus.
Ketika aku turun dari angkot pertama aku memberikan ongkos kepada supir dengan selembar uang seribu, supir itu marah dan membentakku.
“ Berapa ongkos mu ini dek” kau bukan anak sekolah jangan lah segini.kata Supir.
“Tapi kan dekat bang, aku tak punya banyak uang, segitu saja ya bang” jawabku.
“Minta uang yang banyak sama mamak kau ya dek” Supir itu berkata.
“ Iya lah bang” Ku jawab singkat.
“Ya sudah lah awas kau kalau naik angkot aku lagi ya!” ancam si Supir
aku terhentak mendengar perkataan supir, aku memang sering di caci seperti tadi karena memang aku tak punya uang banyak, hal yang wajarlah aku memberi ongkos seribu rupiah karena tidak terlalu jauh dari rumahku ke simpang tiga.
Dasar supir angkotnya saja yang keterlaluan. Aku tak memperdulikan ucapan supir itu, aku menyetop angkot berwarna merah yang menuju kampusku. Di dalam angkot aku duduk di sudut kiri dengan memangku tas ransel dan bungkusan nasi goreng, karena perjalanan ke kampus menghabiskan waktu kurang lebih satu jam aku tak menyia-nyiakan waktu aku mengeluarkan buku atau bacaan lain dan membacanya dengan perlahan.
Terkadang pun jika aku kelelahan membaca aku tertidur di angkot, puas juga tidur di angkot dengan perjalan yang cukup jauh. Ahahaha aku jadi tertawa sendiri mengingat hal yang satu itu.
Sudah lama aku di dalam angkot, sampai juga akhirnya di kampus. Aku bergegas menuju kelas, aku takut terlambat karena mata kuliah hari ini adalah berbicara dan ada presentasi kelompok .
Dengan tergesa-gesa aku sampai di kelas  ku hela nafas panjang bersyukur ternyata belum di mulai perkuliahan nya, aku tengingat pesan ibu. Sampai di kelas langsung sarapan, aku pun meletakkan ransel dan bungkusan di bangku yang telah disediakan oleh teman-temanku, aku membuka bekal yang di siapkan ibu dan mulai makan nasi.
Tak lupa aku mengajak temanku untuk makan bersama walaupun hanya sekedar basa-basi semata tapi terkadang temanku ikut makan bekal buatan ibuku, aku senang bisa berbagi bersama teman dan makan pun terasa lebih semangat.
Alhamdulillah habis bekal sarapan yang ibu bawakan pasti ibuku senang, “ucapku sambil minum setelah makan nasi.
“Sifa, makasih ya bekal nya aku jadi kenyang padahal tadi belum sempat sarapan di kost.” Ucap Kiki salah satu teman dekat Sifa.
“Iya ki, sama-sama ya sifa juga senang Kiki mau bantuin Sifa makan , ehehe”
Waktu berjalan seperti angin berhembus ke setiap sudut ruang kuliah, jam perkuliahan pun berakhir, aku dan teman-teman pulang naik angkot yang sama. Hampir semua teman dekatku ngekost di daerah yang dekat kampus , hanya aku dan Rina yang asli anak Medan jadi tidak ngekost seperti yang lain.
Aku penumpang setia angkot ini, aku yang menjadi penghuni terakhir setiap pulang kuliah karena rumahku yang paling jauh di antara semua. Aji , Bunga dan Dedi berdekatan kost nya mereka turun bersama-sama.
“Sifa, hati-hati ya di angkot awas loh supir nya ganteng tuh ,” Sifa jangan sampai terpesona ya sama supir nya” Bunga menggodaku.
Iya Sifa, kami turun duluan ya, sampai ketemu besok” Aji tak mau kalah dari Bunga.
“Sifa, jangan tidur di angkot ya nanti Sifa di bawa lari sama supir” Dedi mengingatkan Sifa.
“Tenang saja teman-teman Sifa akan hati-hati kok” tukasku.

Beberapa waktu kemudian aku sampai di simpang tiga, aku turun dan menunggu angkot yang ke arah rumahku. Kali ini angkot yang menuju rumahku dating lebih cepat setelah aku turun dari angkot merah, aku naik ke angkot berikutnya aku duduk di pinggir dekat pintu masuk angkot.
Peristiwa di rumah.
Assalamu’alaikum, Sifa pulang mak
“wa’alaikumsalam Ehh Sifa sudah pulang” jawab Ibu sambil membukakan pagar rumah Sifa yang terbuat dari anyaman bambu.
“Iyya Bu Sifa sudah pulang, ayah mana Bu ?” Tanya Sifa sambil masuk ke rumah.
“Sifa”…terdengar ayah memanggilnya dari kamar.
Ayah, ayah sudah makan yah? Sifa mencium tangan ayah dan memeluknya.
“Sifa, ayah rindu sekali sama Sifa, Sifa jangan tinggalkan ayah ya Sifa” Ucap Ayah sambil mendekap Sifa penuh kehangatan.
“Ayah mengapa berkata seperti itu yah, Sifa cuma kuliah sebentar saja ayah, Sifa tidak pergi meninggalkan ayah” Sifa mulai menangis mendengar perkataan ayahnya.
“Ayah, sekarang Sifa nya kan ada di sini Sifa tidak mungkin meninggalkan ayah” Lanjut Ibu memastikan”
“Sifa janji ya jangan tinggalkan ayah, Sifa harus selalu berdoa buat ayah supaya ayah cepat sembuh dan bisa cari uang banyak untuk biaya Sifa kuliah” tutur ayah.
“Ayah beda dari yang biasanya, apa yang terjadi pada ayah ya allah” dalam hati aku bertanya.
Ayah pun melanjutkan nasihat-nasihat nya kepadaku.
“Sifa harus Bantu Ibu , jangan malu kalau Sifa berjualan di kampus jangan jadi anak durhaka, sayangi Ibu sampai kapan pun” perkataan ayah semakin aneh dan membuat Sifa menangis terisak-isak.
Ayah, Sifa janji akan menjadi seperti yang ayah inginkan. Sifa sayang ayah dan ibu, Sifa selalu mendoakan ayah dan ibu dalam sholat Sifa yah, Sifa memeluk ayah dengan kuatnya.
Ibu pun ikut memeluk Sifa dan ayah, kami berpelukan selaksa tak ada duka yang terjalin dalam keluarga kami.

Dalam hangatnya pelukan ayah dan ibu , aku tak henti menitiskan airmata.
Disela pelukan keluarga yang harmonis ini aku merasa diriku gadis belia yang paling bahagia sedunia.
selesai

SKETSA KONTAN
7 desember 2011


 ------------------------------
Azizah Nur Fitriana adalah mahasiswa universitas negeri medan jurusan pendidikan bahasa dan sastra Indonesia dan sedang bergiat di komunitas tanpa nama.(KONTAN)
Fb : keep smile azizah
Blog : azizahnurfitriana_beranda kita ( anfaituazizahblogspot.com )

Rabu, 28 Maret 2012

Cerpen Karya Anis Ekowati (Sahabat SatuMataPena)


Merger Usaha, Merger Cinta


ilustrasi
Kepulan asap sudah terasa menyesakkan pernapasan pagi itu. Kendaraan berlalu lalang dengan egois. Tak memedulikan hidung-hidung manusia yang merasa terkontaminasi dengan hasil buangannya. Termasuk aku yang saat itu sedang terburu-buru. Jarum pada jam tanganku belum menunjukkan pukul tujuh. Namun ramainya jalanan ini sudah membuatku berkeringat. Aku tak mau terlambat. Ini adalah hari pertamaku memulai kerja.
            Memasuki ruangan kerja. Tempatku bekerja bukanlah sebuah kantor yang besar ataupun mewah. Sebuah usaha rumahan jika boleh kubilang. Tapi bukan murahan. Aku tahu itu karena banyak sekali orang yang sudah percaya pada kredibilitas tempat kerjaku. Sebuah percetakan yang melayani pembuatan poster, pamflet, brosur, undangan, buletin, kartu nama, dan yang semacamnya. Tugasku adalah membuat rancangan tentang desain yang akan dicetak. Ya, lebih tepatnya posisiku adalah sebagai lay outer. Sekaligus asisten designer.
            Sudah ada tiga orderan yang kami terima. Dua pesanan untuk undangan pernikahan dan sebuah permintaan brosur untuk acara jalan santai. Aku mulai menggarapnya bersama partnerku, Rio. Dari caranya bekerja, aku tahu bahwa dia sangat mahir dalam bidang ini. Sementara aku, dengan latar belakang mantan editor di sebuah penerbitan, masih perlu penyesuaian untuk tugas baru ini.
            Aku sengaja mengundurkan diri dari kantorku yang lama lantaran usaha itu mendekati titik gulung tikar. Bukan perusahaan yang besar. Sebuah penerbitan majalah bulanan yang berisi budaya daerah. Banyak sudah teman-temanku yang mengundurkan diri. Mereka tak mau bertahan dalam keadaan yang tak menentu itu. Daripada mempertahankan sesuatu yang belum pasti, lebih baik segera mencari yang lain. Begitulah pikiran beberapa temanku, termasuk aku. Namun, ada juga yang masih bertahan. Mereka beralasan bahwa mencari kerja yang baru tidaklah mudah, terlebih lagi masalah status pendidikan yang tidak terlalu tinggi. Jika mereka keluar, maka tingkat kebingungan mereka akan menjadi dua kali lipat, tidak punya kerja alias pengangguran dan tak berpenghasilan. Jadi, mereka kuat-kuatkan untuk bertahan di sana dan berharap agar kantor itu tetap bisa beroperasi.
***
            “Lin, bagaimana menurutmu?” tanya Rio sambil menunjukkan sebuah desain padaku.
            “Hmm... bagus. Tapi mungkin bagian yang ini kurang pas deh, harus sedikit diperjelas,” jawabku asal.
            “Ya, baiklah. Coba kubenahi dulu.”
            Sementara itu aku sibuk dengan lay out pesanan brosur yang akan diambil 2 minggu lagi. Cukup menguras tenagaku. Di hari pertama kerja aku sudah disibukkan dengan setumpuk pekerjaan berbeda dengan tugas editor yang lebih berkutat pada pemahaman teoritis. Memperbaiki susunan kalimat, kata, diksi, dan segala hal yang berhubungan dengan EyD. Termasuk menyortir setiap tulisan yang masuk. Ya, itulah duniaku dulu. Aku memang jurusan bahasa sewaktu di SMA, juga saat ini. Saat ini, di sebuah perguruan tinggi di kotaku, Surabaya. Lebih tepatnya jurusanku adalah pendidikan bahasa dan sastra Indonesia.
            Jika sebelumnya aktivitas kerjaku ditemani oleh seorang yang banyak omong, jail, dan suka memotivasi (mungkin juga sok tau), kini aku berhadapan dengan partner yang sebaliknya. Dia tidak suka terlalu banyak bicara, sedikit bercanda, dan selalu bertindak profesional. Singkat kata, Rio adalah tipe talk less do more.
            Kerjaku dimulai dari pukul 08.00 sampai 15.30. Ada sebanyak 20 pegawai di sana. Jumlah segitu cukup banyak juga sebenarnya, mengingat betapa masih kecilnya kantor yang dimiliki. Namun memang itulah adanya. Sebuah kantor kecil dengan produksi yang cukup membanggakan. Tak perlu diragukan lagi akan kualitasnya. Segalanya mulai dari ketepatan waktu, kerapihan, harga, dan proses pelayanan. “Terima kasih, semuanya perfect.” Begitulah salah satu komentar pelanggan yang pernah kudengar langsung.
***
            Langit hampir senja. Seharusnya sudah dua jam yang tadi aku sampai di rumah. Namun tugas kerja kelompokku yang harus dikumpulkan besok butuh penyelesaian secepatnya. Deadline. Satu kata yang selalu menjadi musuh bebuyutanku. Bahkan sampai saat ini. Dari aku sekolah dasar sampai di bangku kuliah ini, dia selalu menggangguku. Pun tak lupa saat aku bekerja. Ah, tapi sepertinya aku dan dia sudah ditakdirkan untuk bersama. Mungkin kami berjodoh. Eh, kok malah ngelantur :D
            Adzan Maghrib yang berkumandang membukakan pintu padaku untuk masuk. Cepat-cepat aku bergegas ke kamar, meletakkan tasku dan bersegera menuju kamar mandi. Tak kupedulikan rasa lelahku. Aku lebih peduli pada keringat-keringat yang semakin deras mengalir. Ya, kotaku memang panas. Debu-debu dan kepulan asap dari pabrik-pabrik dan kendaraan bermotor bisa dengan mudah kautemui di segala penjuru wilayah. Dan, coba saja hitung berapa banyak pohon di tepi jalanan yang masih hijau. Kasihan mereka, menelan sisa-sisa pembakaran yang mengganggu pernapasannya.
            Malam. Aku ingin beristirahat. Waktuku seharian sudah penuh dengan kegiatan yang menghabiskan kalori. Tapi mataku ditarik oleh sederet daftar panjang. Masih banyak yang harus kukerjakan. Ini deadline. Aku  membencinya. Tapi karena dia pula aku hidup. Ah, galau jadinya.
            Aku harus memastikan nama-nama yang akan dicantumkan pada undangan sebanyak 1.500 itu. Tak boleh ada kesalahan sedikitpun. Jika itu terjadi, maka biaya yang dikeluarkan akan bertambah karena kesalahan yang menyebabkan jumlahnya berkurang. Yah, inilah sebenarnya tugas seorang editor. Satu huruf pun berharga. Termasuk satu tanda. Ah, begitu selektif. Butuh ketelitian tingkat tinggi.
            Pukul 23.30 mataku tinggal setengah watt. Tak bisa lagi kutahan. Kurapikan kertas-kertasku. Langsung terjun ke tempat tidur, memeluk guling. Berharap esok pagi aku tidak bangun kesiangan.
***
            Sebenarnya ada alasan lain yang membuatku berat meninggalkan kantor lamaku. Bukan teman. Bukan sahabat. Seseorang yang kuanggap lebih dari sahabat. Partner sejati jika boleh kubilang. Namanya Randi. Editor, sama sepertiku. Tapi terkadang dia juga merangkap sebagai reporter. Dan kini ia masih bertahan di sana. Katanya, dia sudah terlanjur cinta dengan kantor itu.
            Aku mengagumi sosoknya yang energik. Setiap tugas diselesaikannya dengan sempurna. Tak pernah kulihat wajahnya muram. Terlebih jika tak ada kejadian yang bisa diliput, tak ada tema yang bisa diangkat, tak ada isu tentang kebijakan baru, tak ada desas-desus yang perlu digali kebenarannya, dan.... sepi. Berita kosong. Namun gurat wajahnya masih menggambarkan optimisme. Senyumnya bukanlah senyum kecut sepertiku. Ah, aku rindu padanya. Rindu pada kata-kata yang selalu memotivasi kerjaku.
            Saat aku pindah ke sini –tempat kerja yang baru– dia juga kuajak. Namun ditolaknya.  Dia tidak mencegahku untuk keluar, juga tidak mengejek keputusanku. Penilaiannya selalu positif. Netral. Itu memang cara menilai yang baik, namun terkadang juga tidak baik. Seperti halnya dalam menghadapi sebuah penolakan kenaikan harga BBM misalnya. Aku heran, dia bukan pejabat, bukan menteri, bukan keturunan anggota dewan maupun politikus, dan tidak ada hubungan sedikitpun dengan para pembesar pemilik perusahaan, namun dia tidak ada inisiatif sedikitpun untuk ikut menyatakan penolakan terhadap masalah yang kini hampir selalu menjadi headline di seluruh media massa.
            “Aku tak mau memihak manapun. Aku kasihan pada rakyat, memang. Tapi aku juga tak mau menambah kerancuan di benak pemerintah. Sudah banyak orang yang menuntutnya dengan segudang cacian, hinaan, dan segala macam celaan. Mungkin aku akan menunjukkan wujud kepedulianku terhadap masyarakat miskin dengan caraku tersendiri,” katanya dengan teguh.
            “Hei, kau sadar dengan apa yang kau katakan barusan? Baru kali ini kutemui orang sepertimu. Janganlah mengambang seperti air di atas daun talas, hidup ini butuh pilihan, Bang. Apa kau tega membiarkan mereka terus hidup di garis kemiskinan? Isu rencana kenaikan saja sudah membuat mereka kembang kempis. Harga barang-barang melambung dan tangan mereka tak mampu menjangkau lantaran kantong yang longgar. Kurang sengsara bagaimana lagi, harus menderita macam apa lagi?” kuserbu ia dengan pertanyaan borongan. “Ah, jangan-jangan kau mendukung rencana itu ya. Payah kau!” kuakhiri khotbahku dengan sedikit rasa kesal. Aku memalingkan muka.
            Ah, kenapa aku jadi benar-benar merindukannya, ya.
***
            Tiga bulan sudah aku menetap di tempat ini. Dan selama itu pula hari demi hari kulalui tanpa Randi. Sepi rasanya. Padahal hampir setiap minggu kami bertemu. Namun rasanya tetap saja beda, tidak ada orang yang menyemangatiku sekuat bagaimana ia meniupkan kata-kata itu. Ah, apakah ini yang dinamakan cinta? Yang merindukan seseorang yang dikasihi setiap saat. “Aaahhh,... stop! Ini waktu untuk bekerja, bukan berkhayal,” kataku dalam hati.
            Samar-samar kudengar sebuah kabar burung. Bukan isu politik, pergeseran presiden, maupun kasus korupsi yang tak kunjung tuntas, pun juga bukan tentang rencana pembatalan kenaikan harga BBM. Tapi ini tentang nasib kantorku. Ada apa lagi dengan tempat kerjaku ini? Apakah akan mengalami kebangkrutan seperti yang hampir terjadi pada tempat kerjaku sebelumnya? Atau pimpinan akan digantikan oleh orang yang kejam? Atau apa? Berbagai pertanyaan muncul seketika di benakku. Aku penasaran.
            “Bener ya, kantor kita mau dipindahkan?”celetuk seorang pegawai.
            “Iya, mungkin, dipindahkan ke tempat yang lebih gede,” jawab yang pegawai lain sambil tertawa.
            “Wah, kabar yang bagus itu!”
***
            “Mulai bulan depan, kantor kita akan dipindahkan. Dan kita akan bergabung dengan PENITI Press.” kata Pak Yahya membuka pidatonya. Selebihnya aku tidak memperhatikan lagi apa yang diucapkannya. Pikiranku sudah membayangkan betapa indahnya kembali bersama teman-teman kerjakuku seperti dulu. Pun dengan partner sejatiku. Ah, aku tak sabar menanti saat-saat itu. Upss, lagi-lagi aku ngelantur.
            Dan benar saja, genap 30 hari setelah itu, kami semua berimigrasi ke kantor kami yang baru. Luas, indah, dan elegant. Sepertinya sifat yang terakhir itu sedikit hiperbolis. Namun, yang paling penting bagiku bukanlah bagaimana bagusnya tempat kerja. Sebagus apapun gedungnya, semegah apapun bangunannya, aku akan merasa tersiksa jika tidak ada udara motivasi. Jadi, aku sangat bahagia bisa kembali berkumpul bersama teman-teman yang sejak awal sudah kuanggap seperti keluargaku sendiri. Waktu dua tahun telah mengubah banyak hal dalam hidupku.
            Ya, setahun setelah itu usaha kami semakin memiliki nama. Penerbitan majalah selalu tepat waktu, dengan tema yang sudah diperluas. Sedangkan percetakan juga tak perlu diragukan lagi kualitasnya. Hampir semua pelanggan baru yang datang kepada kami menyatakan bahwa mereka mendengar komentar yang menarik dari para member yang lama.
            “Jadi seperti apa kerjamu saat tidak ada aku?” kata Randi mencandaiku.
            “Biasa saja, malah aku lebih bersemangat karena tidak harus berdebat dengan orang lain.” jawabku sekenanya.
            “Oya? Wah, sepertinya aku harus beralih pekerjaan ke tempat yang lain.”
            “Loh, kenapa??” tanyaku heran.
            “Iya, karena aku tak mau merusak konsentrasimu. Haha.” 
            “Hahahaa...”
            Dan kami tertawa lepas. Memandangi langit senja sore itu. Menguning tua, jingga.  Siap digantikan posisinya oleh sekawanan bintang. Ah, indahnya. Seperti bulan depan sebagaimana aku dan “partner sejati”-ku itu akan bersama di bawah hiasan kuning. Ya, cinta kami pun akan kami merger sebagaimana dua usaha ini telah ter-merger. Sebuah hal yang akan selalu mengikat kami, selamanya.
 Dan kami mengakhiri perbincangan sore itu. Dari kantor sederhana di penerbitan dan percetakan ini, aku berjumpa dengan penakluk hatiku...

            Sby, 24-25 Maret 2012
          


 -----------------------------
Anis Ekowati, lahir di Kediri, 31 Mei 1992. Anak terakhir dari dua bersaudara -meskipun namanya mengandung kata eko (satu). Mulai tahun 2011 tercatat sebagai mahasiswi di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Airlangga, Surabaya.
 

           
           

Selasa, 27 Maret 2012

Puisi-puisi Karya Putu Gede Pradipta (Sahabat SatuMataPena)



Ilustrasi Renung Sita






















Renung Sita

Siapakah yang telah mengambil
utuh tubuh puisi di tubuhmu, sita?
Hingga kau mesti memasuki jantung api
mencari remah-remah bunyi
kata-kata yang elegi.
Sekadar menunjukkan pada lelakimu
bahwa kau masih benar-benar suci.

2012


Memoar Puisiku

Puisi-puisiku pernah
mengantar-utuh aku menuju
kota-kota tanpa lampu.
Dan langkahku tak bosan-bosan
membenturi gedung-gedung.
Sesekali ia buat pantulan gema
agar jalan menunjukkan ada
antara dingin dan kesepian
masuk-menusuk ke telinga.

2012


Putu Gede Pradipta tinggal di Denpasar.

Minggu, 25 Maret 2012

Puisi Karya Delvi Adri (Sahabat SatuMataPena)

Ilustrasi
Akhir Episode
seperti mentari bersinar menjelajahi hari
pagi, siang hingga petang menjemput
di peraduan malam

pun seperti bulan merajai malam
hingga halimun datang mencumbu mimpi

dan kita hanyalah keangkuhan
yang cuek pada ending cerita ini
                     
                        Pekanbaru, 2010



Delvi Adri adalah Peminat Sastra dan masih tercatat sebagai Mahasiswa Jurusan Pendidikan Bahasa Indonesia FKIP UIR.Tinggal di Pekanbaru.

Jumat, 16 Maret 2012

Cerpen Karya Yoan Fa (Sahabat SatuMataPena)

Andre
         
Siapa sech yang nggak kenal Andre. Seisi sekolah pasti kenal dengan anak kelas X I(Sebelas) IPA 1 ini. Cowok keren, Ketua OSIS, jago basket, selalu rangking di kelas, hmmm apa lagi yach. Oh iya, cowok bernama lengkap Andre Mario Sandy ini punya tongkrongan keren, Honda Jazz warna itam ceper plus modif luar dalam. Hemmm,, bukan itu sich, satu item lagi  yaitu Andre itu rajin solat 5 waktu.
        Wow, Amazing,, hmmm lebih tepatnya lagi super amazing.  Cewek mana sech yang bakalan nolak jadi ceweknya. Kalo lagi jalan aja, melintas di depan kelas lain cewek-cewek pada bisik-bisik tetangga membicarakan penampilan Ketua OSIS yang macho itu. Tak kan ada yang melewatkannya.
        Jennifer cs, adalah salah satu fans-nya Andre. Kebetulan Jennifer adalah salah Sekretaris OSIS juga. Cewek anak kelas XI IPA 5 ini kebetulan anak kepala sekolah. Jadi wajar aja kalo dia bisa jadi sekretaris OSIS. Jennifer anaknya cantik, rambutnya panjang plus dikeriting, kulitnya putih, tinggi. Hmm kayak model aja. Yap, kebetulan Jen memang seorang model sampul majalah-majalah remaja. Yachhh, walopun soal otak sedikit jeblok, namun berkat kenalan sang Papa, Jen bisa jadi model terkenal.
        Setiap hari Jen selalu menyiapkan agenda OSIS, kegiatan OSIS, mencatat hasil rapat, hadir di ruang OSIS, dan mengingatkan jadwal maen basket Andre. Tapi tunggu, kayaknya yang terakhir itu nggak tugasnya sekretaris dech. Tapi ehem,, sebagai sekretaris yang baik tentunya selalu mengingatkan Ketua OSIS. Yap jawaban bisa diterima.
        Kayaknya nggak ada dech yang bisa ngegusur posisi Jen yang statusnya deket ama Andre. Meskipun semua tahu kalau Andre belum nembak Jen. Namun seolah-olah bagi Jen Andre adalah miliknya.
        Pernah Vina anak kelas sepuluh nyari perhatian Andre. Minta tolong ajarin pe-er matematika yang super sulit. No way! Jen langsung ‘nge blok’ Vina dengan akal-akalan bakal rapat OSIS. Siapapun cewek itu kayaknya nggak bakalan bisa dapetin Andre.
        Seperti biasanya, salah satu agenda rutin tahunan bakal dilaksanakan. Pentas Seni SMA Jati Luhur bakal diadakan sebentar lagi. Berhubung Jen anakknya Pak Kepsek, maka wajar aja tahun ini pentas seni dibuat lebih meriah dan lebih wah. Rencananya pentas akan dilaksanakan di sebuah gedung dan malamnya akan diadakan penghargaan bagi para siswa yang berbakat dalam bidang seni dan so pastinya nge band.
        “Saksikanlah. Pentas seni ke-21 SMA Jatiluhur . Tempat Gedung Intan , Hotel Ratu Indah. Tanggal 9 September. Dresscode: cowok-tuxedo cewek-dress warna hijau “
        Semua orang berdesakan melihat pengumuman yang terpampang di tempat strategis seperti depan OSIS, dekat lapangan, ruang serbaguna, dan lainnya. Semuanya pada sibuk mikirin gaun apa yang bakal dipakai nanti, model apa, sepatunya, terus rambutnya dibuat model apa.
        “Pestanya kan masih sebulan lagi,”
        “Iya sich,, tapi aku nggak punya gaun lho,” gumam Dini setengah hati.
        Semua orang mungkin sibuk mempersiapkan gaya buat pentas seni. Namun bakal jadi suatu hal yang ribet bagi Dini.  Gaun ohhhh gaunnn…
        “Rencananya gue mau bikin gaun ke desainer ,, itu lho mas Alex yang terkenal gitu. Tar pulang sekolah gue mau ke tempatnya buat ngukur . Bahannya aku minta yang import biar bagus,” Jen bercerita di depan anak-anak lainnya. So pasti tujuannya tidak lain tidak bukan adalah mau bikin ngiri semua orang. Tidak ada yang lebih dari Jen.
        “Ndre, lo mau kan bareng gue di Pentas Seni nanti,?”
        “ Jen, ya ampun, kamu gimana sich. Makanya jangan terlalu banyak mikir,” sesungging senyum Andre terlihat sangat luar biasa.
        “Jadi… maksud lo ndre……” Jennifer sekedar memastikan kalau Andre bakal jadi kekasihnya di malam Pentas Seni nanti.
        “Ya iya lah Jen, kamu kan sekretaris OSIS jadi memang sesuai acara kita ditambah dengan bendahara ama seksi OSIS lainnya akan nampil di pentas bareng-bareng plus kasih sambutan gitu,”.
        “Ndreee….” Sambil tersenyum dengan gigi rapat sebenarnya Jen sedikit malu. Bukan itu yang gue maksud  Andree… gerutunya dalam hati.
        Malam pentas seni adalah malam yang ditunggu semua anak-anak Jati Luhur. Anak-anak band udah pada  sibuk latihan band. Nyiapin perform terbaik. Girl dance juga udah pada latihan sepulan sekolah ama guru Kesenian. Lagunya keren euyy—Justin Bieber. Bakal jadi lagu buat pengiring bagi dancer-dancer cantik itu.
        Dini, Kiky, Vira, dan Anis juga pengen datang ke pesta itu. Tapi mereka nggak punya gaun, apalagi gaun warna hijau.
        “Duhh, mau minta ama ortu pasti kena marah. Gaun itu kan harganya mahal,” ujar Vira.
        “Gue punya tabungan sich tapi kayaknya nggak cukup dech,” sebut Anis.
        Dini hanya diam saja. Boro-boro mikirin gaun, sekolah aja sukur-sukur dari bea siswa. Kayaknya Dini nggak bakalan ikut dech. Diam-diam di dalam hati sudah terbesit keinginan itu walaupun tak diungkapkan kepada teman-temannya.
        Pesta tinggal seminggu lagi lebih kurang. Malam minggu nanti anak-anak jati Luhur bakal memadati gedung. Anak-anak band sudah pada kepe-dean buat nampil.
        “Sebagai perwakilan kelas kita, aku berharap teman-teman datang yach. Termasuk kalian juga datang. Apalagi gue nampil duet nyanyi ama Risky nanti habis sambutan Kepsek. Jadi cepetan yach,” ujar Mitha  kepada Dini.
        Kepada Dini. Ya, karena Dini tampaknya paling nggak nggeh’ dengan Pentas Seni itu. Lalu mau bilang apa lagi? Semua akan datang kecuali Dini seorang? Ohh pasti Dini bakal dipermalukan oleh seisi kelas. Padahal Mitha baek banget. Semua tahu itu.
        Ahhhh,, kemana muka gue nanti kalo ketemu Mitha? Gue pasti dibenci? Mau pergi tapi nggak punya gaun? Kan tengsin? Hari demi hari pertanyaan itu makin menghantui Dini.gelar nggak lama lagi. Ada yang bilang suaranya mirip suara Tailor Swift.
        Mitha adalah seorang penyanyi belia. Suaranya bagus banget. Dia sekarang lagi berusaha menang buat sebuah ajang pencarian bakat yang audisinya bakal d
        Hari H pun tiba. Anis ditambahin duitnya oleh mama. Vira tenyata dibeliin gaun. Kiky pinjam punya kakaknya. Lalu Dini? Pake kaos putih ama  sweater ungu yang sedikit lusuh plus celana jeans item yang nggak bermerek.
        Sambil menunduk Dini memasuki gedung di salah satu hotel yang terbilang mewah itu. Sesekali orang melihatnya. Atau ada yang bisik-bisik melihat keanehan Dini. Entah berapa lama Dini harus menahan  malu . Pokonya selesai Mitha tampil  dini udah ancang-ancang angkat kaki.
        Gaun diatas dengkul yang pas body. Plus Aksesoris pinta cantik di rambut yang dicat natural brown. Oh ya sepatu high heel yang cantik banget. Jen berada di pintu masuk ruangan tempat berlangsungnya acara Penganugrahan Pentas Seni itu. Senyumnya terhadap setiap tamu yang hadir. Memuji sesekali gaun para tamu.
        “Gila Sil, gaun kamu cantik banget,” ucap Jen.
        “Iya donk kan dibeliin mama ku di mal,”Ujar Sisil.
        “Hmmm ya sich,, tapi ini pasti yang KW. Kalau punyaku ini asli desainer Alex Amarta yang terkenal itu lho,”
        Sisil hanya tersenyum kecut. Belagu banget deh Jennifer. Kalau bukan anak Kepsek pasti udah gue gampar!
        Dengan takut-takut Dini Cs memasuki pintu gedung. Setajam apalagi sich komen Jen yang ingin disebut super fashionista yang sejajar Paris Hilton katanya itu.
        Lirik dari bawah sampai atas. So pasti, penampilan Anis, Vira. Kiky itu standar banget. Gaunnya juga biasa aja. Lalu satu titik terhenti pada Dini.
        “Pesta ini Cuma buat anak Jati Luhur. Bukan buat anak sekolah lain.”
        Dini shok atas komen Jennifer. Padahal dia anak Jati Luhur juga. Dini hanya terdiam.
        “Jen, ke dalam yuk,, bentar lagi sambutan Kepsek, kan OSIS juga mesti nam…..” terputus.
        “Jen, suruh mereka masuk,” ujar Andre ketika melihat pemandangan di depan pintu gedung.
        “Ndre, kita nggak undang sekolah laen kan,” ujar Jen.
        Andre pun mengerti . Dengan sikap bijak, Andre tahu betul keputusan yang mesti di ambil.
        “Adek-adek dari kelas berapa?
        “Sepuluh dua Kak,” jawab anak-anak itu serempak.
        “Kamu juga anak sepuluh dua kan? “ Tanya Andre kepada Dini.
        Grogi plus malu. Siapa sich yang nggak pengen disapa cowok sekeren Andre. Tapi kondisinya mengenaskan banget dech. Gaya gembel kayak gini.
        “Iii..ya kak,, maaf saya ke sini nggak pake dress code. Saya mau lihat penampilan teman sekelas saya Mitha,” Dini hanya tertunduk malu.
        “Siapa bilang kamu nggak boleh masuk? Asal anak Jati Luhur pasti boleh lah,” senyum sang Ketua OSIS itu pun membawa Dini melayang melambung menuju bintang.
        “Dinii.. thank you banget udah datang . Oh iya kamu bisa pinjam bajuku koq. Tadi aku nggak jadi pakai karena kostum buat nyanyi udah dipersiapkan. Nech kunci mobilku ,” Mitha datang seketika menjadi malaikat penyelamat berikutnya .
        Hmm… biar aku temani ke parkiran ya. Soalnya mobil Mitha tepat di sebelahku. Kamu pasti bingung kalau sendiri,” tak diduga Kak Andre pun menawarkan bantuan sementara Jen mukanya jelek banget menahan kesal.
        Ahh… Kak Andre emang keren banget. Makasih ya kak. Udah bolehin aku masuk. Kakak emang cowok paling keren di dunia. Dini menggumam di dalam hatinya.
        Sambil berjalan ke parkiran Andre ngajak Dini bercerita seputar kegiatannya. Senang banget sekaligus grogi deketan ama cowok seganteng dia.
        “Tar ruang gantinya ada di sebelah sana,” ujar Andre ramah.
        “Iya kak, thank you banget. Makasi kak. Saya ngerepotin banyak dech. Biar saya pergi sendiri saja. Kan kakak mesti kasi sambutan,” ujar Dini.
        “Oh iya, ampe lupa. Kamu orangnya asyik juga diajak ngobrol tentang kegiatan skul kita. Mulai sekarang kita temanan yach,” ujar Andre.
        “ Ya kak.. senang banget bisa dekat ama Kakak,” balas Dini lagi.
        Malam itu menjadi malam yang terindah bagi Dini. Sementara dengan sedikit malu Jen hanya diam menatap empat sekawan tersebut. Ia hanya tertunduk lalu berjalan mendahului mereka dan sedikit tergesa-gesa.

Maret 2012, Pekanbaru



Yoan Fa, penulis kelahiran 24 tahun silam di kota Bukittinggi, Provinsi Sumatera Barat. Menulis cerpen adalah hobinya sejak duduk di bangku SMA dulu. Sehari-hari bekerja sebagai Asisten Redaktur pada koran harian lokal Metro Riau di Kota Pekanbaru, Provinsi Riau. Senang berdiskusi dan berbagi informasi tentang sastra dan jurnalistik.
Fb : yoan fa
Twitter : yoan_oke
e-mail: yoanfa18@yahoo.com
Cp: 08127619755/081959481188